Hukum

Kian Parah, Jangan Lupakan Krisis Kemanusiaan di Gaza

GAZA CITY – Krisis kemanusiaan dan kekurangan bantuan kemanusiaan hingga kini masih dirasakan warga Jalur Gaza, Palestina. Lebih dari 50 persen warga kawasan berpenduduk 1,7 juta jiwa itu adalah pengangguran.
 
Aktivis Indonesia untuk Palestina dan Koordinator PPPA Daarul Quran Gaza-Palestina Abdillah Onim menuturkan, kondisi yang dialami warga Gaza saat ini bermula dari blokade Zionis-Israel sejak 2007 silam. 
 
“Blokade ini semakin mempersempit aktivitas masyarakat, perekonomian menjadi lumpuh. Inilah penyebab utama terjadinya pengangguran,” kata Onim dalam surelnya kepada ROL, Rabu (19/3).
 
Ia menuturkan, hingga kini warga Gaza menjalani hidup tanpa listrik. Sebab, pasokan listrik dari Israel dan Mesir telah dihentikan. Bahan bakar minyak (BBM) juga semakin langka di kota dengan panjang 47 kilometer dan lebar 11 kilometer tersebut.
 
“Kelangkaan BBM membuat para sopir terpaksa menganggur. Para pegawai negeri sipil juga hanya menerima gaji sekali dalam empat bulan. Itu pun hanya separuh gaji.”
 
Operasi penangkapan terhadap rakyat Palestina dan pembunuhan juga masih rutin dilakukan militer Israel. Lebih dari 10 ribu janda terdapat di Gaza dan 23 ribu anak yatim yang hidup di wilayah yang disebut ‘penjara terbesar’ di dunia itu. 
 
Apalagi saat ini perbatasan Mesir-Gaza, yakni pintu Rafah ditutup, sehingga menyebabkan bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk Gaza. “Akibat penutupan pintu Rafah dan penghancuran terowongan, para janda dan anak yatim serta keluarga fakir miskin tidak lagi menerima bantuan,” kata Onim.
 
Dari segi kesehatan, ia melanjutkan, warga Gaza tidak hanya mengalami krisis obat-obatan, tapi juga krisis makanan. Pasien rumah sakit terpaksa harus dirujuk ke Israel atau Mesir untuk menjalani perawatan yang memadai. “Tidak sedikit dari para pasien menemui ajalnya sebelum tiba di rumah sakit rujukan,” tutur Onim. (rep05)