12 Saksi Irjen Djoko Ketakutan

Keponakan Hotma Jadi Tersangka Kasus Suap

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan pengacara dari kantor Hotma Sitompul & Associates, Mario C Bernardo (MCB), dan pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Djodi Supratman (DS), sebagai tersangka.

Penetapan status diberikan setelah keduanya diperiksa intensif selama 24 jam. KPK juga menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat keduanya. Selanjutnya, KPK akan melanjutkan pemeriksaan intensif dengan memanggil saksi-saksi lainnya.

"KPK sudah menetapkan untuk meningkatkan status dua orang yang ditangkap KPK kemarin ke tahapan selanjutnya (penyidikan)," ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Jumat (26/7).

Sementara Juru Bicara KPK, Johan Budi mengatakan, MCB banyak membantah saat diperiksa penyidik. "Dua-duanya sama memberi keterangan, tapi memang lebih banyak DS yang memberi keterangan, kalau MCB itu banyak membantah," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi SP, Jumat (26/7).

Johan menuturkan kasus ini menjadi terang lantaran DS banyak membeberkan keterangan di depan penyidik. Dari keterangan DS penyidik kemudian menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat keduanya sebagai tersangka. "Tadi sekitar pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB, telah diterbitkan sprindik terkait dengan tertangkap tangannya dua orang pada Kamis kemarin," ujar Johan.

Mario maupun Djodi telah ditetapkan tersangka oleh KPK. Mario diduga melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara itu, Djodi dijerat dengan pasal penerimaan suap yakni melanggar 5 ayat 2 atau pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Begitu ditetapkan sebagai tersangka, MCB langsung dijebloskan ke tahanan. Saat keluar gedung KPK, dia membantah memberi suap kepada DS. "Saya hanya bisa bilang saya tidak pernah memberikan uang dalam rangka menyuap. Itu saja," ujar MCB yang mengenakan rompi tahanan KPK, Jumat (26/7).

Saat ditanya apakah dirinya diperintahkan Hotma Sitompoel, MCB enggan menjawab. Menurutnya hal itu biar kuasa hukumnya saja yang akan menjawab.

Dia tampak pasrah digelandang oleh petugas ke mobil tahanan. Wajahnya tampak pucat pasi saat menuruni anak tangga. Sebelumnya, dia menyalami koleganya sekaligus kuasa hukumnya dari Hotma Sitompoel Associate.

Johan menambahkan, penyuapan yang dilakukan anak MCB kepada DS diduga bukan yang pertama kali. Diduga suap sudah diberikan dua kali. "Jadi yang kemarin itu diduga pemberian yang kedua. Sebelumnya itu sudah ada pemberian yang diterima DS," ujar Johan.

Menurut Johan, penyidik KPK menduga pemberian itu direncanakan dalam beberapa tahap. Berdasarkan informasi yang dihimpun, uang muka untuk pengamanan sidang tingkat kasasi itu senilai Rp 200 juta. KPK pun akan terus mengembangkan kasus ini. "Nah itu kemarin yang tahap 2 tapi kemungkinan juga ada tahap 3, tahap 4, dan tahap 5 kita belum tahu masih dikembangkan," ujarnya.

Johan menambahkan pemberian pertama sebesar Rp 50 juta. Sedangkan yang kedua yakni yang ditangkap kemarin, sebesar Rp 77 juta di dalam tas Djodi. "Uang itu berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi) dalam kaitan dengan memberi atau menjanjikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan pengurusan kasasi tindak pidana penipuan atas nama terdakwa HWO di MA," ujar Johan.

Kasus Tanah

KPK menyebut penyuapan MCB kepada DS terkait pengurusan kasasi kasus tindak penipuan dengan terdakwa HWO di MA. Posisi MCB adalah sebagai pengurus kasus dan bukan kuasa hukum klien.

"Kasus tindak pidana korupsi dalam kaitan memberi janji kepada Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara dalam pengurusan kasasi tindak penipuan atas nama terdakwa HWO di Mahkamah Agung," kata Johan.

Johan menyebut HWO adalah Hutomo Wijaya Ongo Warsito, 52 tahun,  Direktur Utama PT Sumbar Calcium Pratama. Ongo pernah digugat dalam kasus sewa tanah  seluas 19.885 meter persegi di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2006- 2008.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh yang diketuai Djoni dengan anggota Rozza El Afrina dan Dwi Suryanta, menolak gugatan penggugat, sehingga Ongo tak wajib membayar denda. Surat putusan itu dikeluarkan pada 1 November 2012.

Di tingkat kasasi di MA, lanjut Johan, majelis hakim yang menangani perkara ini diketuai oleh Gayus Lumbuun dengan anggota Andi Abu Ayyub Saleh dan Zaharuddin Utama. Terkait dugaan penyuapan terhadap Gayus, Johan mengatakan pihaknya akan memperdalam kasus tersebut. "Ya nanti kita perdalam, ini kita kembangkan, apakah ada pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya," ujar Johan.

Hakim Agung Gayus Lumbuun yang dihubungi via telepon mengaku tak tahu menahu perihal kasus suap tersebut. "Saya belum tahu hal tersebut," ujar Gayus, Jumat (26/7). "Hari Senin akan saya cek di kantor. Akan saya kabari setelah saya cek," tambahnya seperti dikutip dari merdeka.com.

Seperti diketahui, KPK menangkap staf Badan Pendidikan dan Pelatihan di Mahkamah Agung, Djodi Suoratman, Ia diduga menerima suap dari Mario C Bernardo, pengacara di kantor Hotma Sitompul, Kamis (25/7). Penyidik menemukan duit sebesar Rp 77 juta yang diduga merupakan pemberian Mario.

Sementara, anggota Komisi Hukum dan HAM DPR RI, Eva Kusuma Sundari, mengatakan, suap tersebut akan berujung ke hakim agung. "Logikanya pasti tidak hanya berhenti di staf MA itu," kata Eva, Jumat (26/7).

Meskipun Hakim Agung kemungkinan tak terlibat, putusannya pasti dipengaruhi juga oleh staf. Dia mengibaratkan hakim agung seperti majikan yang menerima berkas-berkas yang disiapkan oleh pembantunya.

Eva menuturkan perlu adanya reformasi di MA. Reformasi tak cukup hanya di level hakim agung, tetapi juga di jajaran staf pegawainya. Kecurangan bisa dicegah bila hakim agung dan staf mahkamah direformasi. Dia meminta Komisi Yudisial untuk mendorong reformasi di seluruh pihak Mahkamah Agung.

"Jadi, semua sistem harus direformasi," ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. MA harus menampilkan wajah yang transparan dan propemberantasan korupsi.

Jarang Bersosialisasi

Begitu DS ditangkap KPK, rumahnya di daerah Bambu Apus, Cipayung, terlihat lengang. Pagar besi yang ditutupi plastik fiber menutupi bagian depan rumah. Hanya ada dua lampu depan rumah yang terlihat menyala. Hanya beberapa tetangga yang kadang melintas.

DS tidak dikenal akrab tetangganya. Dia hanya terlihat pada hari Minggu ketika ke gereja bersama keluarganya. "Enggak tahu saya. Dia kalau ke gereja doang tuh hari Minggu keluarnya," ujar ibu Nisin, tetangga sebelah rumah Djodi, ketika ditemui di depan rumahnya, Jumat (26/7). "Kalau pulang kan malam, jadinya jarang tahu," imbuhnya.

Hal ini juga dibenarkan Ketua Rt 14/03, Nali Raisan, tempat Djodi bermukim. Dia berujar bahwa keluarga Djodi juga jarang terlihat di acara-acara warga seperti arisan. "Enggak pernah. Paling kalau kerja bakti, cuma ngasih ya sumbangan lah sekedar kopi," beber Nali saat ditemui di rumahnya.

Nali bercerita Djodi pindah ke rumahnya itu sekitar lima tahun yang lalu. Saat itu kondisi rumah bercat coklat muda itu baru setengah jadi. "Itu dulu masih setengah jadi. Ya dia renov lah itu rumah. Tapi dalemnya juga enggak mewah-mewah amat," cerita Nali.

Nali juga berujar, Djodi punya sebuah mobil dan sebuah motor. Tapi karena akses jalan ke rumahnya sempit, mobil itu diparkir di area depan gang dengan cara kontrak. "Xenia lama lah, 2005. Sama Supra deh Supra Fit kalau enggak salah," tutur Nali.

Djodi tinggal di rumah itu dengan istrinya, Martha dan kelima anak perempuannya. Anak perempuan tertuanya berusia sekitar 17 tahun, sementara yang paling bungsu baru sekitar 2 tahun.

Akibat penangkapan MCB, 12 orang saksi meringankan terdakwa korupsi pengadaan alat Simulator SIM dan pencucian uang, Irjen Pol Djoko Susilo, tidak mau menghadiri persidangan. Menurut penasehat hukum Djoko, Tommy Sihotang, semua saksi itu takut terkena imbas dari penangkapan itu.

"Kami mohon maaf majelis, karena ada kejadian seperti kemarin itu, soal penangkapan. Dan soal pemberitaan yang simpang siur ada yang mengatakan ada kaitannya dengan kasus ini. Membuat saksi-saksi ini berpikir lagi. Mereka jadi tidak hadir hari ini," kata Tommy saat persidangan dimulai, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (26/7).

Menurut Tommy, dia siap jika tidak diberikan kesempatan kedua oleh majelis hakim menghadirkan saksi fakta meringankan, mereka siap dengan konsekuensinya. "Kami paham kalau memang waktu kami sudah habis, dan pekan depan giliran saksi ahli. Tapi kalau diberi waktu dan digabungkan, kami apresiasi," ujar Tommy.

Namun, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo masih memperbolehkan kubu Djoko menghadirkan saksi meringankan pada Selasa pekan depan. Tetapi, dia memberi syarat agar penasehat hukum kembali memilah siapa saja saksi fakta meringankan yang bakal dihadirkan.

"Seandainya memang masih ingin mengajukan, sepanjang tidak mengganggu, sehari itu harus selesai. Jangan terlalu banyak saksi fakta yang dibawa karena kami konsen ke ahli," kata Suhartoyo.

Hakim Ketua Suhartoyo mengatakan, majelis hakim tidak terpengaruh dengan apapun. Menurut dia, persidangan tak bisa diintervensi dan dipengaruhi oleh siapapun juga. "Kalau ada perasaan terpengaruh, majelis anggap seharusnya kita tidak perlu terpengaruh dengan kejadian apapun. Kita dilindungi undang-undang dan independen," lanjut Hakim Ketua Suhartoyo. Alhasil, sidang akan dilanjutkan pada Selasa pekan depan. (rep1)