Tragedi Lapas Tanjung Gusta

Koruptor Disinyalir Otak Pelakunya

net

JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI, Laode Ida mensinyalir kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Medan dilakukan terencana atau by design oleh napi koruptor yang terancam tidak mendapat remisi. Kekuatan uang bisa mengonsolidasi para napi bertindak anarkhis. Dan kebetulan ada pelatuknya yakni PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Remisi.

“Saya menganalisa kerusuhan napi di Lapas Tanjung Gusta Medan dilakukan terencana oleh koruptor-koruptor yang terancam tak mendapatkan remisi. Karena kekuatan uang,  meski orangnya dipenjara, tetap bisa mengonsolidasi orang-orang untuk bertindak anarkhis dan gaduh. Bahkan bisa melibatkan petugas Lapas,”  kata Laode Ida dalam diskusi “Upaya Meminimalisasi Konflik Lapas di Daerah” bersama pakar hukum pidana Yenti Garnasih dan pakar demografi Lemhannas, Sonny B Harmadi, di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (19/7).

Laode juga melihat ada faktor lain penyebab kerusuhan di LP Tanjung Gusta Medan yakni kapasitas penjara yang sudah over atau tidak bisa lagi menampung jumlah napi,  perlakuan petugas yang tak manusiawi, mulai dari masalah air, makanan, listrik, tempat tidur, dan sebagainya.

Untuk mengatasi agar hal serupa tidak terjadi lagi ke depan, Laode mengusulkan agar perlu dilakukan kategorisasi para napi.  Para napi  koruptor, narkoba, teroris, pembunuh dan kejahatan yang lain tidak boleh satu blok. “Sebab kalau dicampur dalam satu Lapas, pembinaan tak akan efektif, apalagi kharakter napi  juga berbeda,” tambahnya.

Pembiaran Negara Sementara itu, pakar hukum pidana Yenti Garnasih menilai, apa yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta Medan sebagai pembiaran negara.

Sejak tiga kementerian sebelumnya, kata dia, semua persoalan yang terjadi di seluruh Lapas di Indonesia itu sudah diketahui pemerintah.

Misalnya, masalah perlakuan diskriminasi, over kapasitas, makanan tidak layak, tempat tidur, kesulitan dapat air, dan sebagainya.

Bukannya memperbaiki semua persoalan itu, pembinaan napi di Lapas justru semakin melemah. Hal itu diperkuat lagi dengan kebijakan pemerintah dengan menerbitkan PP No 99 Tahun 2012.

“Kondisi napi dan Lapas yang memprihatinkan itu sudah terjadi sejak ketiga kementerian sebelumnya, namun oleh pemerintah dibiarkan. Bahkan pembinaan napi semakin melemah,” tegas Yenti.

Mengenai penerbitan PP No 99 Tahun 2012, Yenti mengatakan,  secara hukum hal itu tidak benar. Seharusnya, sebelum menerbitkan PP, pemerintah harus mencabut terlebih dahulu UU-nya. Termasuk memperbaiki sikap diskriminatif antar napi di Lapas.  
Dijelaskan, d 165.000-an napi,  50% adalah napi narkoba. Napi koruptor juga terus meningkat, karena di pengadilan juga ada korupsi, dan di Lapas ada korupsi.

“Pemerintah tak pernah memikirkan pembangunan Lapas, yang ada pembangunan mal. Lapas sudah tak ada wibawanya, karena napi sudah berani menentang petugas Lapas. Sedangkan koruptor yang punya uang mendapat pelayanan mewah,” katanya.

Sementara itu, Sonny menyoroti soal lemahnya pembinaan di Lapas. Menurut dia, jika banyak residivis yang kembali melakukan kejahatan, berarti pembinaan di Lapas itu gagal.

“Padahal, criminal justice system itu harus berhasil menjadikan napi itu begitu keluar dari penjara perilakunya akan lebih baik lagi. Kalau tidak, berarti pembinaan di Lapas gagal. Apakah memang anggarannya kurang? Kalau benar berarti sistem anggarannya harus diperbaiki,” katanya. (rep/01)