Fokus Rohil

Bakar Tongkang Tanda Kehidupan Pluralis

Sehari sebelum dibakar, Minggu (23/6/2013), replika tongkang diarak keliling kota Bagansiapiapi untuk selanjutnya disemayamkan di kelenteng Ing Hok Ki

BAGANSIAPIAPI - Sebagai negara dengan masyarakatnya yang pluralisme (mejemuk) tentu keragaman budaya dan agama di Indonesia menjadi acuan untuk mempersatukan bangsa. Salah satunya yakni tradisi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi yang pada hari ini, Senin (24/6/2013) di Kelenteng Ing Hok Kiong dengan suka cita merayakan Go Gwee Cap Lak, sebuah agenda turun temurun berupa prosesi Ritual Bakar Tongkang.

Agenda ritual ini sudah dilaksanakan sejak dahulu kala dimana masyarakat Tionghoa mempercayainya sejak tahun 1825 Masehi, saat berdirinya Kelenteng Ing Hok Kiong di Bagansiapiapi. Namun, baru beberapa tahun belakangan ini semenjak terputusnya era orde baru, 1998 hingga hingga belakangan ini ritual bakar tongkang digelar secara meriah hingga mengundang perhatian wisatawan baik, lokal hingga mancanegara.  Tak pelak, setiap tahunnya jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu orang berjubel menjadi satu di 'kota ikan' itu. Menariknya lagi, prosesi ritual bakar tongkang ini telah menjadi agenda pariwisata nasional hingga internasional.

Sehari sebelum prosesi acara puncak bakar tongkang, seluruh masyarakat Tionghoa terlebih dahulu menggelar Sembahyang kepada Dewa Ki Hu Ong Ya yang lebih dikenal Dewa Laut. Disaat itulah seluruh marga Tionghoa tumpah ruah di Kelenteng Ing Hok Kiong menggelar sembahyang dengan membakar Hio kecil hingga berukuran raksasa ditambah nyala lilin dan pembakaran kertas berwarna kuning atau yang biasa disebut kertas sembahyang. Kota ikan itupun seakan sesak oleh tebalnya asap hasil pembakaran hio (dupa) sembahyang.

Tradisi dan kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagan Siapiapi, Kabupaten Rokan Hilir harus terus dipertahankan keeksisannya hingga sepanjang masa di setiap upacara prosesi ritual bakar tongkang dan hanya dilakukan pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go Gwee Cap Lak tersebut.

"Ritual ini sendiri merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Tak ada yang berbeda setiap ritual ini digelar setiap tahunnya. Tentunya, keistimewaan perayaan Go Gwee Cap Lak ada pada ritual bakar tongkang yang tiddak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong, tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun  Ong Ya yang lebih dikenal dengan Dewa keselamatan dan kesejahteraan bagi warga Indonesia Tionghoa di Bagan Siapiapi," jelas Tokoh Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, Oliong kepada www.rohilonline.com mengawali perbincangan.

Lebih jauh dijelaskannya, ritual bakar tongkang ini sendiri dipercaya bagian momentum perayaan ulang tahun Dewa Ki Hu Ong Ya yang juga dipercaya sebagai sarana yang berkaitan kearah kepercayaan pencarian rezeki. "Dengan berkat dan memperingati Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun, masyarakat yakin bakal mendapat pencerahan keselamatan dan kesejahteraan. Untuk itulah para pesembahyang tak jarang datang dari berbagai negara tetangga yang didominasi oleh para perantauan asal Bagansiapiapi. Selain itu, ritual bakar tongkang juga seakan tak terpisahkan dari perjalanan dan pembangunan Kota Bagan Siapiapi," jelasnya menambahkan.

Dikisahkannya lagi, konon awal mulanya Bagansiapiapi menjadi sebuah daerah hutan belantara sebagai tempat persinggahan awal Kapal Tongkang yang dipercaya kelompok marga Ang membawa patung Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun dipercaya telah menyelamatkan kelompok Marga Ang itu sendiri dan tiba ditepi Sungai Rokan. "Setalah mereka berada di tepi sungai Rokan mendapat petunjuk Dewa tersebut berupa cahaya api dari daratan yang mengiring Kapal Tongkang menyusuri sekitar Pulau Kuala Kubu, Teluk Mengkudu (sekarang Panipahan) sampai kemudian dilakukan pendaratan tepat di belakang Pulau Barkey. Saat itulah di jadikan tempat pemukiman baru yang berdasarkan catatan sejarah pemukiman warga Tionghoa pada Pulau kunang-kunang api kemudian diberi nama dan dikenal dengan sebutan Bagan Siapiapi," urainya mengisahkan awal mula Bagansiapiapi.

Di pulau penuh kunang-kunang api saat itu, mereka hidup dan terus menetap di Bagan yang letaknya di muara sungai Rokan sampai akhirnya mendirikan Kelenteng yang diberi nama Ing Hok Kiong sebagai Induk Kelenteng terbesar di Kota Bagansiapiapi yang menjadi pusat tradisi kepercayaan dan keagamaan umat Kong Hu Cu. "Kelenteng Ing Hok Kiong diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 1826 masehi. Lihat saja ciri khas bangunannya berarsitektur Tionghoa kuno dengan atap ukiran berbentuk naga," paparnya. (rep/01)