PEKANBARU - Tim Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan bahwa sebanyak 65 persen Anggota DPRD Riau belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke lembaga antirasuah itu. Sementara, kalangan eksekutif yang belum menyerahkan LHKPN sekitar 49,25 persen.
"Yang legislatif 65,57 persen belum lapor, artinya anggota dewan yang ada sekarang itu belum sampai 50 persen yang sudah melaporkan harta kekayaannya," kata Koordinator Tim Korsup KPK Sumatera Utara, Riau, dan Banten, Wawan Wardiana di Pekanbaru, Rabu (18/5/2016).
Wawan menilai, kesadaran kalangan eksekutif lebih baik dibanding legislatif di Riau. Meski, angkanya belum maksimal. Pelaporan itu, kata dia, adalah program tunas integritas yang sudah dilakukan hingga level kepala Satuan Kerja perangkat Daerah.
Mestinya, dengan program ini, tingkat korupsi di sebuah daerah akan berkurang atau hilang sama sekali. Sebab, pelaporan LHKPN, imbunya, mirip obat generik. "Tapi belum mempan juga dan tetap saja korupsi berulang," tambahnya.
Indikasinya, Wawan berkelakar, banyak eksekutif maupun legislatif serta swasta yang berkunjung ke KPK. "Dan tidak kembali lagi," kata dia.
Pencegahan reguler seperti LHKPN dan pengendalian gratifikasi, dinilainya sudah tidah ampuh lagi. Komisi antirasuah merumuskan formula baru untuk menekan korupsi. "Harus dikasih lagi obat paten," imbuhnya.
Pada kepemimpinan KPK kali ini, para komisioner memiliki program anak emas. Yakni daerah-daerah yang tingkat korupsinya cenderung tinggi.
KPK menunjuk enam provinsi sebagai anak emas. Antara lain Sumut, Riau, dan Banten. Itu karena dari tiga daerah itu mulai dari gubernur, DPRD, dan pengusaha sudah tertangkap KPK.
Selanjutnya tiga daerah lagi yang jadi anak emas adalah provinsi yang punya otonomi khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat.
"Enam daerah ini menjadi fokus. Tiga daerah merupakan pencegahan pascapenindakan dan tiga daerah lagi karena banyak dana pusat mengalir ke daerah," sebutnya.(mt/rd)