Fokus Rohil

Hukum Menahan Kentut Apakah Membatalkan Shalat? Ini Penjelasanya

ilust

RELIGI - Assalamu’alaikum. Pak ustadz saya ada dua pertanyaan. 1. Ketika kita sedang shalat tidak lama kemudian kita merasa akan ada angin yg keluar dari dubur tapi kita mencoba menahannya apa batal shalat kita?  2. Ketika kita sedang shalat dan di dalam shalat ada hal yang membuat kita batal apakah kita harus langsung keluar barisan apa gimana ? Wassalam.

Wa’alaikum salam wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada dua pertanyaan yang diajukan kepada kami. Dan kami akan mencoba menjawa pertanyaan yang pertama terlebih dahulu. Sementara untuk pertanyaan kedua sudah pernah kami bahas di rubrik Bahtsul Masail ini.

Memang sering kali kali ketika di tengah-tengah shalat tiba-tiba kepengin kentut. Karena di tengah-tengah shalat, maka kita pun biasanya berusaha sekuat mungkin untuk menahan kentut tersebut agar jangan sampai keluar.  

Sepanjang pengetahuan kami, persoalan menahan kentut di tengah shalat tidak pernah dibicarakan secara langsung dalam hadits Rasulullah saw, tetapi yang kami temukan adalah hadits yang terkait menahan keinginan untuk makan ketika makanan telah disuguhkan dan menahan kencing atau buang air besar ketika dalam shalat.

“Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak ada shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar (al-akhbatsani)”. (H.R. Muslim)

Yang dimaksud dengan “tidak ada shalat” adalah tidak sempurna shalatnya (seseorang). Sedang maksud “di hadapan makanan” adalah ketika makanan dihidangkan dan ia ingin memakannya. Begitu juga ketika menahan air kencing dan buang air besar.

Hadits di atas, menurut Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi mengandung hukum makruh shalat bagi seseorang ketika makanan telah dihidangkan dan ia ingin memakannya, dan bagi orang yang menahan kencing dan buang air besar. Makruh artinya boleh dikerjakan tetapi lebih baik ditinggalkan. Kenapa menjalankan shalat dalam kondisi seperti itu dihukumi makruh? Karena dapat mengganggu pikiran dan menghilangkan kesempurnaan kekhusu’annya.

Jadi, yang menjadi illah al-hukm atau alasan hukum kemakruhannya adalah hilangnya kekhusu’an. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa sesuatu yang menimbulkan hilangnya kemakruhan seperti kasus di atas dapat dihukumi sama. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Lebih lanjut menurut beliau kemakruhan tersebut menurut pandangan dari kalangan madzhab syafii dan selainnya, dengan catatan  selagi waktu shalat itu masih longgar.

“Dalam sebuah riwayat dikatakan: ‘Tidak ada shalat di hadapan makanann, begitu juga tidak shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar’. Dalam hadits-hadits ini mengandung kemakruhan shalat ketika makanan dihidangkan dimana orang yang sedang shalat itu ingin memakannya. Hal ini dikarenakan akan membuat hatinya kacau dan hilangnya kesempurnaan kekhusu’an. Kemakruhan ini juga ketika menahan kencing dan buang air besar. Dan di-ilhaq-kan dengan hal tersebut adalah hal sama yang mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan kekhusu’an. Hukum kemakruhan ini menurut mayoritas ulama dari kalangan kami (madzhab syafii) dan lainnya. Demikian itu ketika waktu shalatnya masih longgar”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Berpijak dari keteranngan ini maka ketika ada seseorang yang menahan kentut ketika menjalankan shalat maka shalatnya menjadi makruh sepanjang waktunya masih longgar. Yaitu, apa bila ia membatalkan shalat dan masih ada sisa waktu untuk menjalankan shalat yang telah dibatalkan. Sebab, menahan kentut dalam shalat juga termasuk hal yang bisa merusak atau menghilangkan kekhusu’an.

Karenanya, ketika orang tersebut melakukan shalat dalam keadaan seperti itu maka ia melakukan hal yang dimakruhkan. Sedang menurut madzhab syafii dan mayoritas ulama shalatnya tetap sah, namun disunnahkan untuk mengulanginya. Sedangkan menurut madzhab zhahiri shalatnya batal sebagaimana dikemukan oleh Qadli Iyadl.


“Dan ketika ia melakukan shalat dalam kondisi seperti itu dan waktunya masih longgar maka sesungguhnya ia telah melakukan perkara yang dimakruhkan, sedang shalatnya menurut kami dan mayoritas ulama adalah sah akan tetapi sunnah baginya untuk mengulangi shalatnya. Sedangkan Qadli Iyadl menukil pendapat dari kalangan zhahiriyah bahwa shalatnya adalah batal”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga bermanfaat. Dan saran kami, sepanjang waktu shalat masih longgar, maka sebaiknya jangan melakukan shalat dalam kondisi lapar sedang makanan sudah hidangkan, menahan kening, buang air besar, atau kentut karena akan menghilangkan kekhusu’an dalam shalat. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalamu’alaikum Wr. Wb (Mahbub Ma’afi Ramdlan)    
 
ia telah melakukan perkara yang dimakruhkan, sedang shalatnya menurut kami dan mayoritas ulama adalah sah akan tetapi sunnah baginya untuk mengulangi shalatnya. Sedangkan Qadli Iyadl menukil pendapat dari kalangan zhahiriyah bahwa shalatnya adalah batal”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga bermanfaat. Dan saran kami, sepanjang waktu shalat masih longgar, maka sebaiknya jangan melakukan shalat dalam kondisi lapar sedang makanan sudah hidangkan, menahan kening, buang air besar, atau kentut karena akan menghilangkan kekhusu’an dalam shalat. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalamu’alaikum Wr. Wb (Mahbub Ma’afi Ramdlan).(nt/rd)