Hukum

Akil: Saya Bukan Malaikat, Tapi Bukan Pecundang

JAKARTA - Ada kalimat menarik dalam sidang pledoi atau pembelaan dengan terdakwa kasus suap Akil Mochtar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.  
 
Dengan lantang, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu membuka pledoinya dengan kalimat 'Saya Bukan Malaikat, Tapi Bukan Pecundang'.
 
Akil yang duduk di kursi pesakitan mulai membacakan kata demi kata pembelaan dirinya. Akil mengaku, selama hampir 25 tahun bekerja dalam dunia advokasi, ia berulang kali mendampingi klien dan membacakan pembelaan. Akil juga menceritakan pengalamannya membela tiga petani miskin di Pengadilan Negeri Ketapang, akibat adanya kesalahan vonis yang dijatuhkan.
 
"Hari ini pertama dan sekaligus terakhir bagi hidup saya, saya harus menyusun dan membuat pembelaan bagi diri saya sendiri sebagai terdakwa di persidangan yang mulia ini," ujar Akil di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/6/2014).
 
Mendapat tuntutan hukuman seumur hidup dari Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Akil merasa adanya ketidakadilan dalam kasusnya. Akil menuding adanya muatan kepentingan pimpinan KPK dalam penjatuhan tuntutan.
 
Akil mempersoalkan pernyataan JPU dalam bagian pendahuluan surat tuntutannya, yakni 'kejahatan luar biasa, merusak demokrasi, merusak tatanan hukum, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum' yang dianggap telah menggambarkan dirinya sebagai seorang hakim yang menjelma menjadi seorang penjahat besar.
 
"Saya berharap, vonis yang dijatuhkan pada saya haruslah sesuai dengan fakta dan porsi kesalahan yang ada, bukan atas dasar opini yang mengakibatkan kebencian dan pembenaran niat busuk pimpinan KPK untuk menghukum berat saya," ungkapnya.
 
Akil juga sempat meminta maaf kepada institusi yang dulu dipimpinnya, MK dan seluruh profesi hakim serta kepada Bangsa dan Negara Indonesia. Akil mengaku tak memiliki niat untuk merusak dan meruntuhkan kewibawaan lembaga peradilan khususnya MK.
 
"Saya juga tidak memiliki pretensi apapun untuk menghancurkan demokrasi, menghilangkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, dari lubuk hati yang paling dalam menyampaikan permohonan maaf jika ada anggapan bahwa saya telah melakukan berbagai hal sebagaimana yang dituduhkan," ucapnya.
 
Terakhir, Akil menyisipkan sepenggal sajak karangan W.S Rendra yang berjudul 'Batu Tanpa Hati' sebagai penutup. Sajak tersebut seakan menjadi sindiran kepada pimpinan KPK yang dituding telah mendzoliminya.
 
"Mereka adala batu tanpa hati, sedangkan kita adalah air yang mengalir. Maka, air akan mengikis batu," tutup Akil. (rep01/ozc)