Hukum

KPK: Rp28,5 Triliun Uang Negara Hilang di Sektor Tambang

Kendari-Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia tak berbanding lurus dengan penerimaan pajak negara. Banyak pajak diduga hilang akibat tindakan korupsi pada sektor ini. 
 
Bambang mengutip data produksi batu bara pada tahun 2012 yang tidak akurat antara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mencatat sebesar 288,5 juta ton, sedangkan data BPS berjumlah 466,3 juta ton. 
 
"Selisih ini dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka terdapat potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar Rp 28,5 triliun tahun tersebut," kata Bambang di hadapan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dan para bupati serta wali kota di Sulawesi Tenggara di rumah jabatan gubernur, Kendari, Kamis, 19 Juni 2014.
 
Bambang di Kendari untuk mengadakan rapat koordinasi dan supervisi peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengelolaan usaha pertambangan serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
 
Menurut Bambang, ada sepuluh permasalahan di sektor tambang yang berpotensi merugikan negara di antaranya renegosiasi kontrak 34 KK dan 78 PKP2B, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengelolaan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batu bara, penataan kuasa pertambangan/izin usaha pertambangan (IUP), serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation), sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pengoptimalan penerimaan negara.
 
"Karena itu KPK melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dengan melakukan kegiatan tersebut pada 12 provinsi di Indonesia. Ini untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mineral dan batu bara," kata Bambang. 
 
Pada sesi tanya-jawab, beberapa daerah ternyata memiliki konsensi pertambangan yang bermasalah dengan penataan kuasa pertambangan/IUP. Juga terdapat berbagai permasalahan tambang, salah satunya jumlah izin usaha pertambangan tidak sebanding dengan konsesi tambang yang ada. 
 
Nur Alam mengakui permasalahan terjadi lebih pada penerbitan IUP yang sudah merambah ke kawasan permukiman penduduk dan fasilitas negara. "Banyak IUP sudah masuk daerah- daerah seperti, laut, hutan lindung, permukiman warga, gedung-gedung fasilitas pemerintah, dan seterusnya," ujarnya.