Hukum

Wanita Ini Divonis Mati Karena Nikahi Pria Beda Agama

Khartoum-Meriam Yehya Ibrahim tidak menyangka keputusannya untuk menikahi Daniel bisa berbuntut hukuman mati bagi dia. Vonis itu dibacakan hakim pada Minggu kemarin, 11 Mei 2014 lalu. Meriam menikahi pria yang beragama Kristen, sementara Ibrahim pemeluk Islam. 

 
Dilansir dari kantor berita BBC, Kamis 15 Mei 2014, akibat perbuatannya itu, pengadilan di kota Khartoum mendakwa dia membelot dari agamanya. Meriam sempat diberi waktu tiga hari hingga Kamis kemarin untuk kembali memeluk Islam, tapi ditolaknya. 
 
"Kami memberikan Anda waktu tiga hari untuk kembali tetapi Anda bersikeras tidak kembali ke Islam. Oleh sebab itu, saya jatuhkan Anda hukuman gantung," ujar hakim. 
 
Seolah-olah belum cukup, Meriam juga akan dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 100 kali karena telah berbuat zina. Hal itu karena pernikahannya dengan Daniel dianggap tidak sah di mata Islam.
 
Dalam sidang Minggu kemarin, Ibrahim secara tenang menjawab bahwa dirinya sejak awal seorang Kristiani dan tidak pernah membelot dari agamanya.
Menurut organisasi Amnesti Internasional, Meriam dibesarkan oleh seorang Ibu yang memeluk Kristen Orthodox. Sang ayah memang seorang Muslim. Namun, dia lebih sering absen di masa kecilnya.
 
Meriam ditahan polisi pada Agustus 2013 dalam keadaan tengah hamil. Menurut laman Dailymail, salah seorang kerabatnya yang menyerahkan dia ke polisi karena telah menikahi pria berbeda keyakinan. 
 
Berdasarkan Hukum Kriminal Publik di Sudan, pernikahan Meriam dianggap sebagai sebuah perbuatan kriminal. 
 
Tetapi, Meriam masih memiliki waktu, karena dia baru akan dieksekusi dua tahun setelah dia melahirkan anaknya. 
 
Pro kontra
Kasus yang menjerat Meriam merupakan kali pertama yang terjadi di Sudan. Oleh sebab itu, banyak menimbulkan pro dan kontra. 
 
Salah satu pihak yang menentang vonis itu yakni Amnesti Internasional. Menurut mereka, vonis itu mengerikan. 
 
Peneliti Amnesti di Sudan, Manar Idriss, bahkan mengecam vonis tersebut. Menurut dia, pembelotan terhadap agama dan zinah seharusnya tidak dapat dianggap sebagai sebuah tindak kejahatan. 
 
"Fakta bahwa seorang perempuan dihukum mati karena pilihan agamanya sendiri dan dicambuk karena menikahi pria yang berbeda keyakinan benar-benar sebuah vonis yang tidak masuk akal," ujar Idriss.
 
Amnesti Internasional kemudian menuntut agar pengadilan segera membebaskan Meriam.
 
Bahkan, beberapa Kedutaan Besar negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Belanda pada Selasa kemarin mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinannya terhadap kasus Meriam. Mereka juga mendorong agar Pemerintah Sudan menghormati hak kebebasan beragama. 
 
Sementara di luar ruang sidang, sebanyak 50 orang pengunjuk rasa berkumpul untuk dua kepentingan. Ada yang mendukung vonis tersebut, tetapi tidak sedikit yang menolak. 
 
Menurut laporan koresponden BBC, Osman Mohamed, eksekusi mati jarang diberlakukan di Sudan. 
 
Pengacara Meriam berencana untuk mengajukan banding ke pengadilan tinggi agar kliennya dibebaskan. (rep05)