Hukum

Inilah Pengakuan Indah Mantan Gundik Sultan Brunei

New York-Jilian Lauren pernah menjadi gundik Pangeran Jefri Bolkiah dari Brunei. Menurut Lauren, ia pernah diserahkan oleh Jefri sebagai "hadiah" untuk kakaknya, Sultan Hasanal Bolkiah, dan pernah mabuk bersama.
 
Lauren kini jadi penulis. Salah satu bukunya menjadi bestseller, yaitu Some Girls: My Life in a Harem. Berikut ini adalah tulisan Lauren, yang dimuat di situs The Daily Beast, Selasa (6/5/2014), tentang perilaku Sultan Brunei itu, yang kini menerapkan hukum syariah di negeri kecil tetapi kaya itu:
 
Ketika masih remaja, saya menjadi gundik saudaranya, yang 'menyerahkan' saya sebagai hadiah untuk sultan itu. Dan hanya dalam semalam, kami melakuan setidaknya dua pelanggaran berdasarkan hukum pidana yang baru diimplementasikannya.
 
Hari Selasa, saya disambut oleh sesosok wajah yang sudah akrab saat saya membaca sejumlah berita pagi: Sultan Brunei. Dia kini tampak lebih tua dibanding ketika saya mengenalnya. Wajahnya semakin pucat dan kelihatan lebih letih.
 
Ketika saya masih remaja, saya adalah gundik dari saudara sultan itu, pangeran Brunei. Menurut saya, mereka bukan penjahat. Hanya manusia biasa tetapi kaya luar biasa. Dengan mengingat semua kekuasaan dan uang yang ada di dunia, saya sering bertanya-tanya, apa yang telah saya lakukan di tempat mereka. Saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
 
Sekarang sultan itu menjadi berita utama karena menerapkan hukum Syariah di Brunei, termasuk hukum pidana baru yang mencakup rajam sampai mati untuk kasus perzinahan, memotong anggota badan untuk pencurian, dan cambuk untuk pelanggaran seperti aborsi, konsumsi alkohol, dan homoseksualitas. Ada juga hukuman mati untuk pemerkosaan dan sodomi.
 
Saya bukan ahli hak asasi manusia internasional. Satu-satunya kualifikasi saya dalam mengomentari masalah ini adalah pernah mabuk pada satu malam di awal tahun 90-an, sultan itu dan saya melakukan setidaknya dua pelanggaran berdasarkan undang-undang baru itu saat kami berada di sebuah penthouse suite di Kuala Lumpur.
 
Izinkan saya kilas balik sedikit.
 
Saya hampir berumur 18 tahun ketika saya mendapati diri berada di sebuah "casting call" (proses pra produksi untuk memilih aktor/aktris, penari, model, penyanyi atau bakat-bakat lain untuk sebuah pertunjukan langsung atau yang direkam) di Ritz-Carlton di New York. Saya diberitahu ada sebuah posisi di sebuah klub malam di Singapura. Ketika saya mendapatkan pekerjaan itu, saya tahu bahwa pekerjaan itu bukan di Singapura. Sebaliknya, itu merupakan sebuah undangan untuk menjadi tamu pribadi dari playboy terkenal, Pangeran Jefri Bolkiah yang merupakan adik bungsu dari Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah. Saat itu, Hasanal Bolkiah merupakan orang terkaya di dunia. Saya seorang gadis muda bersemangat dan tidak punya rasa takut yang penuh dengan nafsu berkelana. Saya nyaris tanpa dosa, tetapi ketika menerima undangan itu, saya sangat, sangat muda.
 
Saat saya tiba di Brunei, saya menemukan bahwa pangeran itu menyelenggarakan pesta mewah setiap malam, di sebuah istana di mana ada lukisan Picasso di kamar-kamar mandi dan karpet tenun yang diberi emas sungguhan. Pada pesta-pesta itu ada minuman (beralkohol yang tidak legal di depan umum), tarian, karaoke yang cukup lucu, dan, yang paling penting, para perempuan cantik sekitar 30 hingga 40 orang dari seluruh dunia, yang menjadi semacam harem.
 
Pangeran itu gagah, pintar dan bahkan menawan pada saat itu. Saya menghabiskan tahun berikutnya di sana dan menjadi pacarnya. Untuk sementara waktu, itu menjadi sebuah petualangan yang glamor dan menarik. Namun itu juga membuat kesepian dan demoralisasi, dan penuh dengan penghinaan tingkat rendah, termasuk diberikan kepada saudara sang pangeran sebagai hadiah. Walau saya bukan seorang tahanan, saya tidak bebas untuk datang dan pergi sesuka saya. Pada akhir masa saya di sana, saya merasa 10 tahun lebih tua dan masih tidak cukup bijak. Saya butuh waktu lama untuk kembali bangkit, meski saya akhirnya menemukan jalan saya. Perjuangan saya adalah perjuangan batin dan itu merupakan urusan saya. Dalam konteks ini, semua itu membebaskan.
 
Rajam dipraktekkan atau disahkan oleh hukum di 15 negara dewasa ini. Praktek itu secara tidak proporsional diterapkan sebagai hukuman bagi kaum perempuan, sering sebagai hukuman untuk perzinahan. Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menganggap hukuman itu kejam, tidak biasa dan merupakan penyiksaan. Menurut organisasi internasional Women Living Under Muslim Law, rajam "merupakan salah satu bentuk yang paling brutal dari kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan untuk mengontrol dan menghukum seksualitas mereka dan sejumlah kebebasan dasar."
 
Namun di Brunei adalah hak istimewa sang pangeran dan sultan untuk berperilaku buruk.  Petualangan tidak terpuji dan pemborosan mereka diizinkan dengan kedipan mata kolektif. Bagi orang lain di Brunei, kaum Muslim dan non-Muslim, kebebasan mereka dibatasi, dan keterbatasan itu kini berpotensi ditegakkan dengan kekerasan brutal.
 
Kamu boleh melempar saya dengan batu atas kesalahan masa lalu saya yang banyak. Tentu saja, batu merupakan suatu metaforis. Sebagai warga sebuah masyarakat bebas, adalah hak saya untuk berdosa, selama saya tidak melanggar hukum atau menganggu kebebasan orang lain. Adalah hak prerogatif saya untuk tidur dengan semua pangeran manapun yang saya suka. Saya hidup dengan pilihan saya.
 
Saat warga Brunei menghadapi erosi hak-hak mereka, saya membayangkan pria yang pernah saya kenal, bersembunyi di sebuah hotel mewah di suatu tempat, mungkin dengan remaja Amerika lain di pangkuannya, sambil membuat undang-undang yang mengatur moralitas. (rep05/kpc)