JAKARTA - Persidangan sengketa pendaftaran dan verifikasi partai politik di Badan Pengawas Pemilu memasuki tahap akhir. Majelis Pemeriksa Bawaslu akan membacakan hasil putusan persidangan yang telah berjalan sejak 2 November 2017 itu pada Rabu, 15 November 2017.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyampaikan agenda pembacaan putusan itu seusai persidangan dengan agenda mendengarkan kesimpulan dari para pelapor dan terlapor, Selasa, 14 November 2017. Saat itu Ratna Dewi bertindak sebagai Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu.
"Persidangan akan dilanjutkan besok (Rabu, red) dengan agenda pembacaan putusan. Pelaksanaannya pada pukul 15.30," katanya mengakhiri sidang, Selasa (14/11).
Adapun terkait sidang mendengarkan kesimpulan pelapor dan terlapor, saat itu 10 kuasa hukum pelapor menyatakan hasil kesimpulannya di dalam persidangan. Setiap kuasa hukum pelapor diberikan waktu 15 menit untuk membacakan kesimpulan.
Mayoritas pelapor meminta agar Majelis Pemeriksa Bawaslu mengabulkan laporan mereka. Seperti diketahui, mayoritas pelapor melaporkan adanya pelanggaran dalam Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang digunakan KPU selaku terlapor.
SIPOL dianggap bertentangan dengan undang-undang, tidak tersosialisasi dengan baik, dan sering mengalami gangguan dalam implementasinya sehingga partai politik kesulitan dalam mengunggah berkas.
Selain itu juga, jangka waktu memasukkan data ke SIPOL terlalu singkat tanpa mempertimbangkan banyak data yang harus diunggah.
Di samping SIPOL, pelapor juga menganggap KPU melanggar administrasi karena dalam menetapkan bahwa partai politik tidak memenuhi syarat, KPU tidak melakukan penelitian administrasi.
KPU juga dilaporkan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam menetapkan sebuah parpol memenuhi syarat ataukah tidak untuk ikut serta di Pemilu 2019.
Dalam persidangan tersebut, KPU sebagai pihak terlapor hanya diwakili oleh staf ahli sebagai kuasa hukum. Komisioner KPU tidak ada yang menghadiri sidang. Biasanya, persidangan selalu dihadiri oleh Komisioner KPU Hasyim Asy'ari.
Kuasa hukum dari KPU juga tidak membacakan kesimpulan di persidangan. Mereka lebih memilih menyerahkan kesimpulan tertulis kepada Majelis Pemeriksa.
Direktur Eksekutif Rumah Bebas Konflik Abdul Ghofur menilai, Pilpres 2019 menjadi isu yang sangat strategis bagi parpol. Banyak parpol berkeinginan untuk berpartisipasi dan mengusung calonnya masing-masing.
"Parpol baru dan parpol lama yang suaranya tidak besar berharap mengusungkan capres itu tidak harus dari parpol lama (dan suaranya besar)," kata dia.
Dengan demikian, tuturnya, menjadi wajar bila parpol kini banyak yang melakukan manuver agar bisa berperan dalam Pilpres 2019. Selain menggugat KPU ke persidangan Bawaslu, beberapa parpol juga kini memperkarakan beberapa pasal Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi.
*Putusan Bawaslu Diharapkan Tidak Melanggar Hak 10 Parpol
Sementara itu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mengingatkan kepada Bawaslu agar tidak melanggar hak parpol dan juga dimensi administrasi.
Peneliti Senior SPD Daniel Zuchron mengatakan, pada dasarnya dimensi administratif pemilu memiliki pengertian sangat luas yang meliputi serangkaian prosedur, tata cara, dan mekanisme yang terkait dengan administrasi kepemiluan dalam setiap tahapan.
Karena itu, penyelenggara pemilu hendaknya bersikap hati-hati dalam menjalankan kewenangannya.
"Sangat bijak jika Bawaslu sebagai pihak otoritas tidak memunculkan preseden yang secara simbolik mengesankan administratif pemilu menjadi gamang dan tidak konsisten," kata Daniel dalam siaran pers yang diterima Koran SINDO di Jakarta, Senin (13/11/2017).
Menurut Daniel, selain akseptabilitas putusan Bawaslu nanti, hendaknya proses yang ada juga dijadikan pembelajaran penting dalam memperkuat pelaksanaan prinsip administrasi pemilu dan mempertegas batasan administratif pemilu itu sendiri.
Misalnya, perbuatan apa saja yang dapat dianggap melanggar ataupun mencederai prinsip administrasi pemilu. Di sisi lain, apakah selama ini parpol telah membangun mekanisme organisasi modern, yang tertib tata kelola administrasi dan kelembagaan.
Selain itu, lanjutnya, penggunaan Sistem Informasi Parpol (Sipol) juga memiliki efek positif untuk pelembagaan parpol. Dan Peraturan KPU memberikan (PKPU) memberikan landasan hukum atas penerapan Sipol, di sisi lain PKPU juga mewajibkan setiap parpol untuk melengkapi dokumen administrasi (fisik).
Tapi yang menjadi persoalan, ketika KPU memberikan ceklist kepada 13 partai yang tidak lengkap dokumen administrasinya. Dalam Pasal 15 PKPU Nomor 11/2017 disebutkan bahwa, jika terdapat kekurangan dokumen hardcopy yang diserahkan, KPU mengembalikan seluruh dokumen persyaratan dan meminta partai politik untuk kembali mendaftar sampai dengan batas akhir waktu pendaftaran.
"Peliknya, pemberian ceklist dan pengembalian dokumen tersebut terjadi pada hari terakhir pendaftaran. Peristiwa ini memang menimbulkan konsekuensi pembuktian atas klaim yang diajukan baik oleh partai politik maupun KPU atas kejadian tersebut," bebernya.
Sementara lanjut Daniel, Pasal 176 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa KPU perlu memberikan panduan terhadap proses pendaftaran partai politik, bahwa setiap parpol yang mendaftar untuk menjadi peserta pemilu harus disertai dokumen pendaftaran yang lengkap.
Syarat untuk menjadi peserta pemilu telah diatur dengan jelas dalam UU Pemilu. Itulah yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik yang ingin berlaga pada kontestasi Pemilu 2019.
"Oleh karena itu penting bagi Bawaslu sebagai otoritas penanganan pelanggaran dan sengketa administrasi pemilu untuk mengurai persoalan tersebut. Hal inilah yang saat ini ditunggu dan diharapkan menjadi ruh dalam putusan Bawaslu terhadap permohonan yang diajukan oleh 10 partai politik," tandasnya. ***(nt/rd)