Jakarta - Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan materi salah satu pasal Undang-Undang No 30/2004 tentang jabatan notaris. Pasalnya, MK tidak melibatkan para notaris dalam mengambil keputusan tersebut.
"Kami tidak ada maksud untuk menentang atau menolak keputusan MK, kami hanya menyesalkan karena tidak dilibatkan dalam proses. Padahal kami usernya, tau juga tidak. Ternyata, kasus sudah berjalan setahun lalu sejak Mei 2012 dan diputus kemarin (28/5)," kata ketua umum Ikatan Notaris Indonesia, Adrian Djuani.
Ia menjelaskan, majelis hakim MK telah menghapus isi pasal 66 UU Jabatan Notaris dimana maksud dalam materi itu mengatur kalau pemanggilan notaris oleh polisi (penyidik) harus mendapat izin dari majelis pengawas daerah (MPD).
"Padahal majelis ini perpanjangan tangan negara (KemenkumHam) dalam rangka pembinaan, pengawasan notaris. Itu tugas pokoknya," terangnya.
Dikatakan oleh Adrian, tugas MPD itu melakukan pemeriksaan terhadap seorang notaris terkait pemanggilan oleh penyidik supaya meminta keterangan notaris soal akta yang dibuatnya tersebut.
"Jadi MPD memberikan rekomendasi kepada penyidik apabila seorang notaris dilakukan penyidikan, diuji dulu di MPD. Tapi kalau dihapus ya ini jadi persoalan, karena penyidik tidak perlu lagi rekomendasi majelis," tukasnya.
Namun demikian, Adrian meminta kepada pegiat atau para profesi notaris agar tetap tenang tidak perlu memikirkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sebab, ini bukan merupakan kiamat.
"Para notaris tetap tenang, kerja seperti biasa, apabila kita kerja sesuai rambu semoga tidak ada persoalan. Namun jika dalam langkah kerja ada masalah, kita masih punya hak ingkar tersebut. Jadi ambil hikmahnya supaya kerja tertib, jujur dan baik," imbuh Adrian.
Sementara Firdhonal, anggota Ikatan Notaris Indonesia menyesalkan juga karena majelis hakim MK menghapuskan pasal 66 UU Jabatan Notaris. Menurutnya, ini akan membuat dilema para profesi notaris.
"Kami menghormati keputusan MK, tapi keprihatinan kita dengan dihapuskan pasal 66 itu akan berdampak luas," ucapnya.
Pasalnya, kebimbangan yang dikhawatirkan oleh para profesi notaris salah satunya sanksi terhadap sumpah jabatan notaris dan notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai sumpah jabatan, kecuali UU menentukan lain.
"Kalau kita melanggar sumpah jabatan itu dikenakan sanksi pasal 84 yakni bisa dituntut notaris tersebut oleh klien pembuat akta, nah dengan adanya MPD itu nanti akan diseleksi (diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik," tukas Firdhonal.
Untuk itu, pihaknya akan mengajukan keberatan agar ada pertimbangan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi meskipun memang putusan MK merupakan keputusan final dan mengikat. "Tapi kita juga masih ada upaya keberatan dan kita harap dengan ada persoalan ini direvisi UUJN diperhalus bahasanya, jangan sampai notaris kebal hukum kesannya," tuturnya lagi.
Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 49/PUU-X/2013 tertanggal 28 Mei 2013 terkait penghapusan hak istimewa notaris dalam memberikan keterangan kepada polisi.(rep03)