Hukum

Kasus KITB, Arwin Diperiksa Kejati Riau

Mantan Bupati Siak, Arwin AS
PEKANBARU - Jaksa Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau memeriksa, H Arwin AS, Selasa (19/11/2013). Mantan Bupati Siak itu dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi dana pengembangan Kawasan Industri Tanjung Buton (KITB) yang merugikan negara Rp26 miliar.
 
Arwin datang ke Kantor Kejati Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pekanbaru sekitar pukul 09.00 WIB. Mengenakan baju batik warna coklat, Arwin langsung menuju ruang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) dan memberikan keterangan pada jaksa, Satria SH.
 
Pemeriksaan berlangsung tertutup. Sekitar pukul 12.00 WIB, Arwin istirahat untuk menjalankan Shalat Zuhur dan makan siang. "Menjelang istirahat, kita telah ajukan 16 pertanyaan," ujar Satria yang ditemui di sela-sela pemeriksaan.
 
Usai melaksanakan Shalat Zuhur, Arwin menikmati makan siang di kantin Kejati Riau. Dia menjawab ramah semua pertanyaan yang diajukan wartawan. "Banyak pertanyaan yang diajukan. Saya membolak-balik akta KITB di ruang jaksa," katanya.
 
Arwin tidak menampik kalau dirinya menjabat Bupati Siak saat dana sebesar Rp37,5 miliar dikucurkan ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), PT KITB. Menurutnya, dana dikucurkan pemerintah, setelah melalui rapat di DPRD Siak. "Setelah disetujui, pemerintah memberikan dana," ucap Arwin.
 
Terkait adanya penyimpangan yang dilakukan Direktur BUMD KITB, Syarifuddin yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Arwin mengaku tidak mengetahuinya. "Pemerintah hanya memberikan dana. Soal adanya penyelewengan saya tidak tahu," tegas Arwin.
 
Disinggung terkait pembelian kapal tengker oleh BUMD KITB, Arwin juga mengaku tidak mengetahuinya. "Soal itu, saya tidak mengetahuinya. Kita berikan dana untuk pengembangan KITB, bukan untuk beli kapal," ucap Arwin yang saat ini telah mendapat asimilasi terkait kasus kehutanan di Siak dan Pelalawan.
 
Sementara itu, Kasi Penerangan Umum dan Hubungan Masyarakat (Humas) Kejati Riau, Mukhsan SH mengatakan, Arwin dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Ir Syarifudin MT, Direktur PT KITB. 
 
Selain, Arwin, kemarin Kejati juga memeriksa Direktur PT Kreasi Laksana, Nana S Yusuf. "Dia dimintai keterangan terkait pembelian kapal tengker senilai Rp17 miliar yang dananya diberi PT KITB," tutur Mukhsan.
 
Kasus ini berawal ketika pada tahun 2004, Pemerintah Kabupaten Siak menganggarkan dana untuk kawasan Tanjung Buton melalui PT KITB sebesar hampir Rp38 miliar. Dana itu dicairkan bertahap yakni tahun 2004 sebesar Rp1,5 miliar, tahun 2006 Rp6 miliar dan 2007 Rp30 miliar.
 
Setelah dana dicairkan, pihak PT KITB tak menggunakan untuk pengembangan kawasan Tanjung Buton. Pada tahun 2008, PT KITB membeli kapal tengker senilai Rp17 miliar pada PT Tanjung Buton Makmur Sejahtera (TBMS) yang merupakan bentukan PT KITB dengan PT Miway Persana Makmur. Dana terus mengucur hingga puluhan miliar.
 
Akibat pembelian kapal tengker, negara dirugikan sebesar Rp21 miliar lebih. Selain membeli kapal tengker, dana juga ditempatkan di BPRS Ummah (BPR Perusda) di bawah PT TBMS sebesar Rp9 miliar hingga kerugian negara Rp4,5 miliar lebih. Total kerugian negara mencapai Rp26 miliar.
 
Dalam kasus ini, Kejati juga telah memeriksa Direktur PT TBMS, Raden Fathan Kami. Namanya disebut-sebut sebagai tersangka berikutnya, menyusul Syarifuddin, Direktur BUMD KITB yang sudah duluan ditetapkan sebagai tersangka. 
 
Fathan diduga mengalihkan kucuran dana Rp36 miliar dari Kabupaten Siak ke sebuah bank di Bogor. Dia juga membeli sebuah kapal tanker di KITB, padahal kapal tanker itu tidak dianggarkan dalam KITB. Selain kasus KITB, Fathan juga terlibat kasus kredit fiktif senilai Rp140 miliar di sebuah bank di Jawa Barat. Saat ini, kasus tersebut ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
 
Dijelaskan Mukhsan, kredit tersebut diberikan Bank Jabar dan Banten Cabang Tangerang. Kredit yang diajukan untuk pengembangan bisnis crude palm oil (CPO). "Dalam kasus ini, Fathan menjabat Dirut PT Primer Agroindustri Makmur. Surat perintah penyidikan (Sprindik) No: print-105/F.2/Fd.1/10/2013, tanggal 18 Oktober 2013," jelas Mukhsan.
 
Menurut Mukhsan, berdasarkan keterangan pihak Kejagung, kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya dan menyalahi prosedur sehingga diduga merugikan keuangan negara mencapai USD 9 juta atau berkisar Rp90 miliar. (rep1)