Hukum

Gawat, Kasus Kekerasan Anak Didominasi Kejahatan Seksual

Jakarta-Kasus kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia mengalami peningkatan. Pasalnya, pada tahun 2015, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat 2.898 pengaduan. Hampir 59,3 persennya didominasi kekerasan seksual. Sisanya, sebanyak 40,7 persen, terdiri atas kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan, perdagangan anak, hingga penculikan.
 
Sementara itu, dari jumlah di atas, kasus kekerasan pada anak terjadi di lingkungan terdekat, seperti di lingkungan keluarga dan sekolah, yakni sebanyak 62 persen. Sementara itu, sisanya, 38 persen, berada di ruang publik, seperti tempat bermain anak, pusat perbelanjaan, bahkan di ruang terbuka hijau.
 
"Pelaku kejahatan pada anak ini justru kebanyakan adalah orang terdekat, seperti ayahnya, tetangga, guru, dan bahkan kakaknya sendiri," ujar Sekretaris Jenderal Komnas PA Samsul Ridwan, di kantor Komnas PA, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (22/12/2015).
 
Samsul menilai tingginya kasus kekerasan seksual pada anak ini menunjukkan Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan pada anak, terutama untuk kasus kejahatan seksual yang kerap terjadi akhir-akhir ini.
 
"Tahun ini, kami tekankan pada kasus kejahatan seksual seperti yang terjadi di Kalideres dan beberapa tempat lainnya," katanya.
 
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menilai, pemerintah dan aparat penegak hukum kurang perhatian terhadap segala bentuk kekerasan yang terjadi pada anak. Pasalnya, kekerasan terhadap anak, seperti kejahatan seksual, saat ini masih dianggap kejahatan biasa.
 
"Kami ingin penanganan hukumnya dimaksimalkan, dan kejahatan seksual ini masuk dalam extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme. Mengapa masuk kejahatan luar biasa? Dalam hal ini, korban tidak mampu membela diri," ungkapnya.
 
Terkait pro dan kontra hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, Arist tidak habis pikir dengan banyaknya pihak yang menganggap hukuman tersebut melanggar hak asasi manusia.
 
Arist menjelaskan, hukuman kebiri bukan berarti dilakukan dengan merusak atau memotong kelamin pelaku, melainkan dengan memberikan suntikan kimia untuk mengendalikan dorongan seksualnya.
 
"Mereka ini apa enggak memikirkan korban? Katanya kalau kebiri melanggar HAM, ngapain mikirin pelaku. Perspektif kita adalah korban. Untuk itu, kita minta kepada Presiden agar segera menetapkan segala bentuk kekerasan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa," tutupnya. (rep05)