BI Rate Tetap Bertengger di 7,5 Persen
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) bertengger di level 7,5 persen. Level tersebut dipertahankan sejak Februari tahun ini. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengungkapkan bahwa pihaknya telah mempertimbangkan banyak faktor dalam keputusan untuk mempertahankan BI rate.
"Dominannya kepada faktor eksternal. Terutama soal rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed). BI sudah antisipasi kalaupun The Fed sampai menaikkan suku bunganya, kita tetap bertahan di 7,5 persen," ujarnya Kamis (17/9/2015).
Selain sentimen kenaikan suku bunga The Fed, kebijakan pemerintah Cina yang memutuskan untuk mendevaluasi mata uangnya juga menjadi pertimbangan BI untuk mempertahankan BI rate. "Risiko ketidakpastian kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS masih terus berlanjut dengan kemungkinan waktu kenaikan FFR yang cenderung mundur ke akhir tahun," tambahnya.
Sentimen eksternal tersebut, lanjutnya, juga masih membuat ketidakpastian di pasar. Hal tersebut juga terlihat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang masih terus berlanjut. Namun, BI mengimbau agar masyarakat tidak perlu panik. Sebab, BI maupun pemerintah akan terus melakukan kebijakan strategis guna mempertahankan nilai tukar rupiah.
"Selain mempertahankan BI rate di level 7,5 persen, fokus kebijakan BI dalam jangka pendek tetap diarahkan pada langkah-langkah untuk menjaga stabilitas nilai tukar, dengan terus memperkuat operasi moneter di pasar uang rupiah maupun valas, memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valas, serta melanjutkan langkah-langkah pendalaman pasar uang," urainya.
BI, lanjutnya, akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar, dan stabilitas sistem keuangan dalam mendukung kesinambungan perekonomian.
"Bank Indonesia juga memandang positif paket kebijakan pemerintah yang diluncurkan pada tanggal 9 September 2015 sebagai langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan reformasi struktural yang diperlukan dalam memperkuat perekonomian Indonesia. Ke depan, koordinasi dengan pemerintah akan terus diperkuat untuk mendukung efektivitas dan konsistensi kebijakan struktural yang menjadi kunci perbaikan prospek ekonomi Indonesia," tuturnya.
Di tempat terpisah, Menkeu Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, saat ini, Indonesia sedang menghadapi dua tantangan ekonomi. Tantangan yang pertama merupakan tantangan jangka pendek, yakni ketidakpastian global (global uncertainty) akibat rencana kenaikan suku bunga The Fed (Fed Funds Rate) yang akan diputuskan dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung 16-17 September 2015.
Sementara tantangan lainnya, datang dari dalam negeri yakni terkait persoalan struktural dimana tingkat ketergantungan Indonesia terhadap ekspor komoditas dan sumber daya alam (SDA) cukup tinggi. Padahal, saat ini harga komoditas sedang terpuruk.
"Ini yang harus diperbaiki. Karena pada saat yang sama, kita harus segera menyikapi kondisi global untuk jangka pendek, sekaligus menciptakan struktur ekonomi yang kuat di masa depan," papar Bambang di Gedung Djuanda, Kemenkeu.
Terkait hasil keputusan The Fed, Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tersebut mengakui, hal tersebut bisa berdampak signifikan bagi nilai tukar rupiah. Namun, menurut dia, gejolak nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak 2013 lalu. Sebab, pasar telah berasumsi bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunganya. "Naik atau belum naiknya Fed itu sudah tercermin dari gejolak nilai tukar sejak pertengahan 2013. Nilai tukar dolar terhdap semua mata uang dunia sudah di-price-in dengan menganggap seolah-olah Federal Reserve sudah menaikkan bunga secara signifikan,"papar Bambang.
Karena itu, lanjut Bambang, jika The Fed menaikkan suku bunganya, dipastikan rupiah bakal bergejolak lagi. Hal tersebut akan berdampak pada anggaran negara, khususnya cicilan utang pemerintah. "(Dampak) lebih ke kondisi ekonomi makronya, kepada kursnya. Ya paling melalui mekanisme kurs, baru bisa terlihat dampaknya terhadap budget (APBN),"katanya.
Terkait keputusan BI yang mempertahankan BI Rate sebesar 7,5 persen, Bambang menilai keputusan tersebut sudah tepat. Khususnya dalam menghadapi kondisi ketidakpastian global sekarang ini. "Ya pokoknya untuk menjaga kestabilan ekonomi itu paling penting, terutama dari segi moneternya. Jadi kita sambut baik, itu kebijakan terbaik melihat kondisi yang sekarang,"imbuhnya.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menambahkan bahwa keputusan BI untuk mempertahankan BI rate dianggap sebagai keputusan yang tepat. "Sebab, memang suku bunga belum perlu turun, target inflasi juga dianggap masih sesuai target, memang ekspektasinya suku bunga belum waktunya turun. The Fed juga belum memberikan kepastian kan," ujarnya.
Hingga kini, lanjutnya, seluruh dunia masih menunggu keputusan yang akan diambil oleh Janet Yellen. Namun, David meyakini bahwa meskipun banyak kabar yang menyebutkan bahwa The Fed akan dengan agresif menaikkan suku bunga, hal tersebut dianggap belum cukup memberikan tekanan yang cukup dalam bagi market.
"Ya kita lihat saja, memang semua masih wait and see, menunggu keputusan The Fed. Sekalipun katanya The Fed akan menaikkan suku bunga secara agresif nantinya juga belum bisa menggoyang pasar karena itu kan belum pasti. Kita lihat saja dulu keputusan The Fed," tutupnya.(rep04)
Tulis Komentar