JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, menyayangkan pidato calon presiden Prabowo Subianto dalam pengantar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (6/8).
Sebab dalam pidato tersebut, Prabowo mencontohkan Negara Korea Utara (Korut) sebagai negara yang menjalankan pemilu secara demokrasi. Padahal, Korea Utara bukan saja negara otoriter tetapi totaliter.
"Apakah figur seperti itu yang diidolakan Prabowo, jika benar itu akan sangat mengerikan. Untung saja Prabowo tidak terpilih," kata Haryadi saat dihubungi Republika Online, Rabu (6/8).
Penguasa di Korea Utara, kata Haryadi, sangat berkuasa penuh. Bahkan, saat paman pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, mengkritik pemerintahan justru dihukum mati. "Mudah-mudahan isi pidato Prabowo bukan menjadi keyakinan dia," harapnya.
Menurutnya, pidato Prabowo justru membuat masyarakat semakin mencibir capres yang diusung Koalisi Merah Putih yang terdiri atas tujuh partai politik yakni Pratai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrat.
Sebab dari segi kualitas materi gugatan yang diajukan, malah lebih bagus materi gugatan Pilkada di MK. Selain itu, sebelumnya Prabowo menyatakan menolak dan menarik diri dari proses Pilpres tapi sekarang justru mengajukan ke proses hukum. Hal itu menunjukkan inkonsistensi sikap Prabowo.
"Semakin Prabowo bersuara, semakin ditertawakan banyak orang. Bukti gugatan di MK kan bisa diakses sehingga orang bisa menilai, kalau orang itu paham dan punya pengalaman di MK akan tertawa. Saya khawatir Prabowo akan mendapat cibiran dari Koalisi Merah Putih," ujarnya. (rep01/rc)