Pekanbaru-Dinas Perkebunan Provinsi Riau, meminta Kementrian Perdagangan meninjau kembali kebijakan bea keluar (BK) CPO 13,5 persen, karena memberatkan pelaku usaha perkebunan sawit.
"Bea keluar sawit sebesar 13,5 persen itu memberatkan pelaku usaha turunan kelapa sawit di Riau, mulai dari petani, pengusaha perkebunan dan pengolah hasil perkebunan yakni pabrik kelapa sawit," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Zulher di Pekanbaru, Minggu.
Pendapat demikian disampaikannya terkait Kementrian Perdagangan (Kemendag) per 1 April 2014 menetapkan kenaikan Bea Keluar Crude Palm Oil (BK CPO) 13,5 persen atau mengalami kenaikan sebesar3 persen dari BK Maret 2014 sebesar 10,5 persen.
Menurut dia, kenaikan BK CPO ini sekaligus berdampak terhadap menurunnya daya beli para pengusaha PKS terhadap tandan buah segar CPO milik masyarakat.
Ia mengatakan Pemerintah Provinsi Riau dan daerah lainnya tidak bisa melakukan apa-apa terhadap kenaikan BK CPO karena kewenangan tersebut berada pada pemerintah pusat.
"Imbasnya tentu kepada masyarakat kecil, TBS mereka akan dihargai lebih murah dari harga yang seharusnya. Tentu, ekonomi kelas menengah ke bawah akan terganggu sekaligus diyakini akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional," kata Zulher.
Ia mencontohkan salah satu efek langsung dirasakan oleh petani pekebun adalah turunnya harga kelapa sawit yang ditetapkan Riau pada minggu terakhir Maret 2014 tercatat sebesar Rp2.053,72/kg atau turun sebesar Rp46,31/kg menjadi Rp2.007,41/kg pada pekan pertama April 2014.
Selain itu, kenaikan BK CPO juga mengakibatkan pasar lelang dilakukan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPB Nusantara) sepi peminat.
"Di pasar lelang tersebut, tender CPO yang dilakukan oleh PT.KPB tidak sesuai dengan ekspektasi yang seharusnya. Empat pelaku usaha yang melakukan penawaran penjualan CPO menawar di bawah standar yang diinginkan yaitu sebesar Rp9.695/kg," katanya.
Empat penawar tertinggi tersebut adalah PT Intibenua Pekasatama menawar sebesar Rp9.659/kg,PT. Sari Dumai Sejati yang menawar hanya Rp9.489/kg, PT. Wilmar yang menawar Rp9.603/kg, PT. Nagamas Palm Oil Lestari sebesar Rp9.546/kg.
"Turunnya harga TBS ini tentu salah satu faktornya diakibatkan oleh kenaikan BK CPO, sehingga Kemendag dapat mempertimbangkan kembali kenaikan BK CPO tersebut," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data Kemendag, harga referensi untuk menentukan BK CPO April tahun 2015 adalah sebesar 972,88/ton dan untuk harga patokan ekspor CPO pada April 2014 sebesar 901 dolar AS per ton.
Kenaikan BK CPO ini selain dialami oleh Indonesia, Malaysia sebagai penghasil CPO nomor dua dunia setelah Indonesia juga menaikkan BK CPOnya sebesar 0,5 persen dari yang sebelumnya 5 persen menjad 5,5 persen pada Maret 2014.
"Namun dikarenakan BK CPO Malaysia itu jauh lebih rendah dari BK CPO Indonesia maka BK CPO tidak akan terlalu berpengaruh terhadap harga TBS disana," kata Zulher. (rep05/ant)