PEKANBARU - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terus mendorong revisi UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Karena UU saat ini hanya menguntung investor skala besarm dan tidak dapat menyejahterakan petani.
Hal itu diungkapkan Ketua DPD Riau, Irman Gusman pada acara seminar kelembagaan Asosiasi Petani Perkebunan di Riau, Kamis (14/11/2013) di Hotel Arya Duta Pekanbaru.
Dikatakannya lagi, saat ini tidak ada pengaturan terkait luas maksimun dan minimun terhadap tanah yang akan dikuasai oleh perusahaan dan masyarakat. "Kita sangat mengkhawatirkan lemahnya aturan itu sebagian besar hak guna usaha (HGU) yang hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan saja dan mengurangi luas lahan untuk masyarakat adat atau tempatan," sebutnya
Dampak lainnya, kata Irman, adalah maraknya konflik lahan antara masyarakat tempatan dan perusahaan perkebunan yang terjadi di berbagai daerah. "Pada tahun 2009 terdapat 508 kasus konflik lahan yang hanya bisa diselesaikan sebanyak 196 kasus. Jumlah itu terus bertambah karena pada tahun 2012 tercatat ada 822 kasus namun hanya 49 kasus yang bisa diselesaikan," paparnya.
Konflik lahan perkebunan, kata Irman, biasanya terjadi karena kemitraan antara pengusaha perkebunan dan petani perkebunan kurang seimbang. "Saat ini UU Perkebunan juga tidak tegas dalam mengatur sanksi bagi yang melanggarnya. Permasalahan ini muncul karena muatan meteri mengenai larangan melakukan suatu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan tidak jelas secara rinci," sebutnya.
Meski demikian, DPD RI terus mengkaji UU Perkebunan yang saat ini dinilai hanya menguntungkan para investor skala besar serta lebih banyak merugikan masyarakat dan lingkungan. (rep1)