JAKARTA - Di dalam kekangan rezim Soeharto, PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersedia mengubah asas Islam yang terstruktur melalui peraturan internalnya menjadi asas Pancasila. Cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).
Namun PB HMI malah menanggapi pecahannya dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau HMI MPO. Beberapa anggota HMI MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Meski begitu HMI MPO tetap kekeuh mendorong agar Soeharto lengser dari jabatannya. HMI yang berjaya di era Orde Baru tersebut justru masih beredar hingga hari ini.
Beberapa hari ini, HMI kembali ramai menjadi perbincangan. Hal itu diawali dengan ucapan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, pada Kamis (5/5) melontarkan pernyataan yang dianggap merendahkan HMI. Pernyataannya yang dianggap mencederai HMI adalah jika lulus tahap pembinaan LK-1 di HMI, maka kader itu akan menjadi koruptor.
Menanggapi ucapan Saut, HMI pun melaporkan wakil ketua KPK itu ke polisi. Tak hanya itu, mereka bergerombol ke KPK menuntut Saut minta maaf bahkan mundur dari jabatan. Sayangnya, aksi HMI itu berbuntut vandalisme dengan mengacak-acak gedung KPK.
Jika menengok ke belakang, beberapa alumni HMI memang sudah ada yang terjerat korupsi. Bahkan mereka sudah dibui.
Berikut beberapa alumni HMI yang terjerat kasus korupsi seperti dihimpun :
1. Anas Urbaningrum alumnus HMI divonis 14 tahun bui
Mantan tim elit Anggota Presidium Korps Alumni HMI 2012-2015, Anas Urbaningrum harus merelakan karier politiknya hancur. Dia menjadi terpidana kasus korupsi proyek Hambalang.
Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan untuk menambah hukuman Anas Urbaningrum yang semula hanya 7 tahun penjara menjadi 14 tahun.
Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Selain itu, Anas pun diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Jika uang pengganti itu tidak dibayar dalam kurun waktu 1 bulan, maka seluruh kekayaan Anas akan dilelang. Apabila masih juga belum cukup, Anas terancam penjara selama empat tahun.
Anas sendiri telah dieksekusi dari Rutan KPK ke Lapas Sukamiskin Bandung beberapa waktu yang lalu. Eksekusi dilakukan setelah KPK menerima salinan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sebelum dipindahkan ke Sukamiskin, Anas sempat menyinggung soal uang pengganti. Bahkan, Anas menanggapi putusan MA dengan guyonan akan menyiapkan daun jambu untuk melunasi uang pengganti tersebut.
"Nanti saya siapkan pakai daun jambu," ujar Anas.
2. Kader HMI tetap loyal ke Wa Ode Nurhayati meski jadi koruptor
Mantan kader HMI Wa Ode Nurhayati masih akrab di telinga aktivis HMI kekinian. Bahkan beberapa kali kader HMI mengunjungi Ode di rutan untuk berbagi kabar dan berdiskusi.
Hal tersebut terjadi meskipun Ode menjadi terpidana kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Dia akhirnya mulai menjalani masa hukuman hari ini di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Hal itu berdasarkan keputusan Mahkamah Agung menolak kasasi Wa Ode Nurhayati dan Jaksa Penuntut Umum pada KPK sejak 25 Juni lalu.
"Hari ini ada eksekusi atas nama Wa Ode Nurhayati di Rutan Pondok Bambu," kata Juru Bicara KPK kala itu Johan Budi saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (16/7/2013) silam.
Menurut Johan, eksekusi dilakukan karena keputusan majelis hakim sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Mantan politikus Partai Amanat Nasional itu pun harus mendekam di balik terali besi selama enam tahun.
"Jadi hari ini putusan sudah inkrach dengan pidana penjara enam tahun, dan hari ini dieksekusi," ujar Johan.
Anggota Komisi III DPR fraksi PAN, H Andi Anzhar Cakra Wijaya, merampungkan pemeriksaan di Gedung KPK, terkait kasus suap pengurusan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Usai ditanyai lebih dari empat jam, Andi mengatakan mantan rekan separtainya yang menjadi terpidana perkara itu, Wa Ode Nurhayati, bergerak sendiri, dan tidak melibatkan partai.
"Tidak pernah, tidak ada urusan dengan partai. Dia (Wa Ode Nurhayati) bergerak sendiri di luar partai," kata Andi kepada wartawan usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/4).
Majelis Hakim Tipikor menilai Wa Ode benar menerima hadiah uang Rp6,2miliar dari Fadh El Fouz, Ketua Musyawarah Kekeluargaan dan Gotong Royong, MKGR, sebagai 'hadiah' karena memperjuangkan DPID untuk kabupaten Bener Meriah, Aceh Besar, dan Pidie Jaya. Hakim juga berpendapat bahwa Wa Ode benar menerima uang Rp750 miliar Paulus David Nelwan dan Abram Noach Mambu untuk mengurus DPID kabupaten Minahasa.
3. Akil Mochtar sang komandan Resimen Mahasiswa dan HMI
Mantan Komandan Batalyon Resimen Mahasiswa yang juga mantan aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Akil Mochtar sempat memiliki karier cukup berwarna. Ia pernah melakoni hidup sebagai tukang semir, loper koran, sopir, bahkan sempat hampir putus sekolah. Namun berkat keuletannya, ia berhasil menjadi seorang pendekar hukum di lembaga penegak konstitusi di Indonesia.
Pria kelahiran 18 Oktober 1960 pernah mengarang dua buku yang bertemakan korupsi. Buku pertama yang berjudul 'Memberantas Korupsi: Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi' yang diterbitkan pada tahun 2006. Lalu, buku yang berjudul 'Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi' yang diterbitkan pada tahun 2009. Buku ini memberikan sumbangan teoritis terhadap perkembangan konsep dan teori pembalikan beban pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Buku tersebut berasal dari disertasi Akil Mochtar yang terbit pada saat Indonesia sedang berusaha untuk menabuh genderang perang terhadap korupsi. Sehingga, buku ini sangat pas dibaca berbagai kalangan yang fokus terhadap pemberantasan korupsi dan terwujudnya pemerintahan yang bersih, termasuk, pejabat negara, aparat penegak hukum, advokat, mahasiswa, dosen, pengamat, dan aktivis LSM.
Akil pernah berbicara lantang tentang korupsi yang merambah Tanah Air. Dia mengatakan koruptor lebih baik dimiskinkan dan dipotong salah satu jari tangan para koruptor tersebut. Menurut dia, hukuman tersebut lebih cocok ketimbang hukuman mati.
"Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup," ujar Akil beberapa waktu lalu.
Namun, antara perkataan dengan perbuatan ternyata tidak berbanding lurus. Pada Rabu (2/10) malam, Akil dicokok KPK dalam Operasi Tangkap Tangan karena diduga menerima suap terkait sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak yang tengah berperkara di MK. Dia dicokok bersama Chairun Nisa, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dan Cornelis Nalau yang merupakan salah satu pengusaha pertambangan asal Kalteng.
Akil Mochtar diduga menerima uang suap dari Bupati Gunung Mas Hamid Bintih sebesar Rp 2-3 miliar. Tidak hanya itu, Akil juga diduga tersangkut kasus dugaan suap pada Pilkada Lebak, Banten. Bahkan, Susi Tur Andayani dan suami dari Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachma Diany, Tubagus Chaeri Wardhana juga ikut terlibat dalam kasus suap tersebut.
Akil sempat disangkakan melanggar pasal 3 dan atau pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan pasal 3 atau pasal 6 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang pemberantasan pencucian uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Akil rupanya menyembunyikan harta haramnya dengan berbagai modus. Ada berbagai cara yang dilakukan Akil untuk menyimpan uang haramnya. Mulai dari membeli puluhan sepada motor hingga membeli sawah di Kalimantan Barat.
4. Abdullah Puteh, mantan elite HMI divonis 10 tahun penjara
Mantan Anggota Majelis Pekerja Kongres PB HMI (1973-1975) Abdullah Puteh divonis Majelis Hakim 10 tahun penjara. Majelis hakim yang diketuai Kresna Menon mendakwa Puteh atas kasus pengadaan helikopter MI-2. Majelis menilai, gubernur nonaktif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi senilai sekitar Rp 10 miliar.
Puteh juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan penjara,dan diharuskan membayar uang pengganti Rp 3,6875 miliar selambat-lambatnya satu bulan, setelah mempunyai putusan tetap. Bila tidak, ia akan dikenakan kurungan satu tahun.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan, Puteh telah melanggar Keppres Nomor 18 tahun 2000 tentang Pengadaan Narang dan Jasa. Pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia itu, menurut majelis dilakukan tanpa melalui proses tender secara terbuka.
"Abdullah Puteh menunjuk langsung PT Putra Pobiagan Mandiri untuk pengadaan helikopter," kata Kresna Menon di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (11/4/2005).
Dengan perbuatannya itu, Puteh dianggap telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau satu korporasi dan merugikan keuangan negara. Tindakan Puteh juga telah menguntungkan dirinya sebesar Rp 3,65 miliar dan Putra Pobiagan Mandiri sebesar Rp 3,87 miliar.
Hal-hal yang memberatkan Puteh, menurut majelis hakim, karena perbuatan korupsi itu dilakukan di daerah konflik. Selain itu, sebagai kepala daerah dia dinilai tidak mewujudkan tekad pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. "Perbuatan terdakwa merusak citra pemerintah," kata Kresna Menon.
Dia sempat menjadi tahanan kota. Sebelumnya Puteh ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba.
5. Andi Mallarangeng, jenderal HMI UGM terjerat korupsi
Mantan Ketua HMI Komisariat FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Andi Mallarangeng dijatuhi Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta dengan hukuman empat tahun penjara.
Ketua Majelis Hakim Haswandi menyatakan, dari fakta di persidangan ternyata uang tersebut berasal dari bagian fee proyek Kemenpora yang dikumpulkan oleh mantan Sekretaris Menpora Wafid Muharam, dan diserahkan kepada Staf Ahli Menpora, Poniran.
"Uang tersebut ternyata tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim Haswandi saat membacakan amar putusan Andi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (18/7/2014).
Hakim Ketua Haswandi mengatakan, duit itu dipakai buat kepentingan jamuan makan para tamu, pembayaran akomodasi dan pembelian tiket pertandingan piala Asian Football Federation di Senayan dan Malaysia.
Kemudian pemberian uang saku dan transportasi ke sekretariat Komisi X DPR , pada saat rapat dengar pendapat dan rapat kerja. Lalu pembayaran tiket dan akomodasi untuk kunjungan kerja keluar negeri pimpinan dan anggota Komisi X DPR , dan pembayaran THR untuk protokoler Kemenpora, pembantu, sopir dan petugas keamanan yang dibayarkan Poniran melalui sekretaris pribadi Andi, Iim Rohimah.
Terdakwa kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Andi Mallarangeng hanya menunduk saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jumat (18/7). Atas perbuatannya, Andi Mallarangeng harus menerima hukuman empat tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Haswandi mengatakan Andi terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri melalui Andi Zulkarnaen Anwar alias Choel Mallarangeng sebesar Rp 4 miliar dan USD 550 ribu. Duit itu diberikan bertahap sebanyak empat kali oleh pihak berbeda. Yakni USD 550 ribu diterima Choel Mallarangeng di rumahnya dari Deddy Kusdinar, Rp 2 miliar diterima oleh Choel Mallarangeng di kantornya dari PT Global Daya Manunggal (GDM), Rp 1,5 miliar diterima oleh Choel Mallarangeng dari PT GDM melalui Wafid Muharram, terakhir Rp 500 juta diterima oleh Choel Mallarangeng dari PT GDM melalui staf ahli Menpora, Muhammad Fakhruddin.(merd/rd)