Pernahkah Anda memiliki seorang rekan kerja yang lebih pintar bersosialisasi dibandingkan Anda?Atau mungkin rekan yang selalu dipromosikan oleh atasan? Apa
yang Anda rasakan ketika melihat orang tersebut mengalami kesulitan? Mungkin sebagian dari Anda berkata turut merasakan apa yang dirasakan oleh rekan tersebut, bahkan
mengungkapkan rasa empati secara fisik.
Tapi, mungkin apa yang Anda lakukan itu menunjukkan bahwa itu semua adalah kebohongan belaka. Sebab, sebuah studi mengenai pencitraan otak yang diterbitkan pekan lalu
dalam jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience, menunjukkan bahwa seseorang mungkin berbohong ketika mengaku bersimpati atas rasa sakit yang menimpa orang
dengan status yang lebih tinggi.
Sebab, penelitian menunjukkan sangat mungkin ketika melihat orang yang lebih berhasil, otak akan 'cemburu' dan memengaruhi fungsi saraf. Tim peneliti yang dipimpin
oleh Chunliang Feng, dari Shenzhen University di Cina, merekrut 22 orang yang dibagi berdasarkan gender dan meminta mereka untuk melakukan sebuah tantangan persepsi
secara cepat, demikian dikutip dari CNN, Selasa (10/11/2015),
Para peserta harus melihat 100 titik di layar komputer dan mereka akan memutuskan di sisi mana lebih banyak terdapat titik. Berikutnya mereka diberitahu bahwa 650
orang telah melakukan tes yang sama, dan peneliti membanding-bandingkan peserta dengan peserta yang lain. Peneliti menjelaskan bahwa ke-22 orang tersebut adalah pemain
bintang dua, dan 650 orang lainnya adalah pemain bintang satu dan bintang tiga.
Hal ini tentu saja hanya cerita bohong belaka dan dibuat untuk kebutuhan penelitian semata. Peserta bintang dua selanjutnya diminta untuk menonton video yang
menunjukkan serangkaian perawatan menyakitkan yang dilakukan pada peserta bintang satu dan bintang tiga. Peserta bintang dua mengungkapkan rasa empati yang besar dan
ikut merasakan ketidaknyamanan yang dialami peserta lainnya. Tapi, para peneliti melihat bahwa aktivitas otak memberikan jawaban yang berbeda.
Peneliti melihat aktivitas yang ditimbulkan oleh otak menujukkan peningkatan di dua wilayah kunci pada daerah otak, yaitu pada Anterior Insula (AI) dan Anterior Medial
Cingulate Coretx (AMCC). Daerah AI adalah daerah di mana otak merespons pada perasaan sakit, dan daerah AMCC adalah daerah otak yang responsnya dapat mewakili
penderitaan orang lain.
Peningkatan terjadi ketika peserta bintang dua melihat video peserta bintang satu menjalani prosedur injeksi. Tapi, perbedaan terjadi ketika mereka melihat peserta
bintang tiga. Area AI dan AMCC peserta bintang dua cenderung sepi, dengan kata lain respons empatik mereka tidak ada.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika melihat peserta inferior menderita, otak peserta memperlihatkan peningkatan komunikasi antara AI dan daerah lain pada otak yang
terlibat dalam empati dan perspektif. Intinya, mereka menempatkan diri secara mental dan emosional pada posisi pemain inferior, tapi tidak pada pemain superior.
Sebagai catatan, peneliti tidak menemukan bukti bahwa peserta menikmati penderitaan yang dialami peserta bintang tiga saat menontonnya. Namun, hasil menunjukkan bahwa
simulasi otomatis nyeri atas penderitaan yang dialami orang lain tidak bekerja. Para peneliti berpikir kurangnya empati saraf menunjukkan kepada orang-orang yang
unggul terkait dengan cara mereka membuat kita merasa buruk terhadap diri sendiri.
"Orang-orang bisa saja berkata bahwa mereka berempati dan ikut merasakan rasa sakit yang dialami oleh orang yang lebih unggul. Tapi hanya diri mereka sendiri yang
benar-benar tahu perasaan yang sebenarnya, dan sementara aktivitas otak mereka menunjukkan hasil yang berbeda dalam menanggapinya," kata salah satu peneliti.
Selain itu, penelitian terakhir menampilkan tanggapan empatik saraf seseorang berkurang ketika menyaksikan nyeri yang dialami oleh seseorang yang mereka tidak suka,
atau orang lain dari kelompok sosial yang berbeda. Terkadang memang seseorang berusaha untuk menjadi sosok yang baik, tapi sayangnya otak sering mengungkapkan sisi
gelap dari sifat manusia yang berusaha ditutupi.(rep05)