Jakarta-Pakar Hukum Tata Negara Jimly Ashiddiqie menilai, tahapan pemilihan kepala daerah yang harus dilalui oleh setiap calon kepala daerah tak efisien. Mekanisme tersebut diatur di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yang kini telah disahkan DPR menjadi undang-undang.
"Soal jadwalnya, tahapan yang sangat tidak efisien. Ini kontraproduktif untuk efisiensi," kata Jimly, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Jimly menyebutkan, salah satu tahapan yang harus dilalui calon kepala daerah yaitu uji publik. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini, uji publik berlangsung selaa berbulan-bulan. Tahapan ini harus dilalui calon kepala daerah sebelum dinyatakan sebagai peserta pilkada.
"Uji publik yang sampai lima bulan. Kan bisa satu bulan sjaa. Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis," kata Jimly.
Selain itu, ia juga menyoroti soal definisi pilkada. Menurut Jimly harus dipertegas, apakah termasuk rezim pemilu atau tidak. Jika tidak masuk rezim pemilu, menurut dia, KPU daerah tidak dapat menyelenggarakan pilkada. Persoalan redaksional mengenai definisi pilkada juga dijadikan catatan oleh Jimly. Ia menilai, definisi pilkada akan membawa implikasi terhadap proses penyelesaian sengketa pemilu.
"Kalau didefiniskan sebagai bukan pemilu, benar perselisihan hasilnya bukan lagi di MK. Tapi yang jadi masalah, penyelenggaranya bukan lagi KPU, karena UUD sudah mendesain penyelenggara pemilu itu KPU. Inilah yang tidak konsisten di Perppu," kata Jimly. (rep05)