Ada Ratusan Titik Api di Riau dan Kalimantan
Pekanbaru - Lembaga swadaya masyarakat Sawit Watch mengingatkan pemerintah tentang potensi kebakaran hutan di di sejumlah daerah di Riau, Kalimantan, dan Papua. Lembaga itu merilis temuan titik api di sejumlah daerah seperti Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Palalawan di Riau, serta Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Sawit Watch merinci hasil pemantauannya pada 1-5 Agustus 2014 itu, ada 15 titik api di Riau. Sedangkan di Kalimantan ada 190 titik api. Masing-masing, 162 titik di Kalimantan Barat, 21 titik di Kalimantan Tengah, 4 titik di Kalimantan Timur, dan 3 titik di Kalimantan Selatan. Di Papua ditemukan 4 titik api.
Menurut Sawit Watch melalui siaran pers yang diterima VIVAnews, titik api yang dapat menyebabkan kabut asap itu semua berada di lahan gambut. Lahan gambut dikelola secara besar-besaran dan mengalami proses pengeringan menyebabkan lahan mudah terbakar.
Koordinator Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, akar masalahnya adalah kebakaran hasil dari pembukaan dan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan skala besar. “Pemerintah daerah seakan mengobral izin perluasan perkebunan sawit skala besar di Riau. Celakanya, izin tersebut diberikan di atas lahan gambut,” katanya, Selasa, 19 Agustus 2014.
Kebakaran lahan gambut yang mengakibatkan kabut asap masif di Riau tahun lalu, kata Jefri, seharusnya mampu menjadi peringatan besar bagi Pemerintah. Terutama jika dikaitkan dengan Instruksi Presiden tentang Moratorium Pemberian Izin di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut.
Ia berpendapat, memang sudah saatnya Pemerintah berhenti memberikan izin pembukaan lahan di dua area tersebut. Namun Instruksi Presiden yang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak ini justru berlawanan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang akan ditandatangani Presiden dalam waktu dekat. Ada juga Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.
Modus baru
Sawit Watch bersama aktivis lingkungan di Riau juga menemukan pola atau modus baru yang digunakan oleh pemodal. Sering kali mereka membakar lahan —lahan baru maupun hutan yang sudah ada tanam tumbuh milik masyarakat setempat, kemudian terjadi kebakaran di lahan masyarakat— perusahaan akan mememinta ke masyarakat supaya menjualnya dengan harga yang ditentukan perusahaan.
Selain itu, ada dugaan membayar oknum militer. Setelah lahan selesai dibakar oleh oknum-oknum tersebut, lahan yang sudah tidak dikelola lagi akan dijual ke perkebunan sawit.
“Ini menjadi bukti bahwa Inpres Moratorium tidak berhasil, bahkan fungsi kontrol dan pengawasannya tidak berjalan dengan baik. Sawit Watch juga menemukan banyak titik api di area moratorium,” kata Jefri.
Peristiwa kebakaran, Jefri menamahkan, sepatutnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menghentikan pemberian izin pembukaan lahan di lahan gambut, sekaligus meninjau kembali izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan. Kebakaran merupakan bukti bahwa pemberi izin telah menyalahi prosedur pemberian izin dan pelepasan kawasan gambut.
Berkaitan dengan tindak kejahatan pembakaran lahan yang sudah dan tengah berlangsung, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch, Bondan Andriyanu, menjelaskan bahwa perlu segera dilakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan hingga menuntut perusahaan-perusahaan nakal yang terbukti melakukan pembakaran lahan.
“Kami mendesak Kementrian Lingkungan Hidup untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan-perusahaan yang di dalam konsesinya terdapat titik api sebagai penyebab terjadi asap yang merusak lingkungan,” katanya. (rep01/viva)
Tulis Komentar