Politik

Ideologi Partai Tergerus Tingginya Biaya Politik

Pramono Anung
JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung meminta  masyarakat dan DPR agar terus mendorong terbentuknya aturan agar biaya politik menjadi murah. Mahalnya biaya politik dalam setiap perhelatan Pemilu legislatif yang berlangsung lima tahun sekali  menggerus ideologi partainya sendiri mengingat masyarakat saat ini semakin bersikap pragmatis.
 
Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung dalam peluncuran bukunya ‘Mahalnya Demokrasi, Memudarkan Ideologi’ potret kemunikasi politik legislator-konstituen bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudh MD, pengamat politik CSIS J kristiadi, dan pakar komunikasi politik Effendi Gazali di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (03/12/2013).
 
Salah satu penyebab biaya politik mahal itu, katanya, dengan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, karena masing-masing caleg di internal partai dan antar partai akan terjadi persaingan yang tajam. "Itu semua menggunakan uang atau money politics yang cukup besar, sampai menghabiskan puluhan miliar rupiah,” tandasnya. 
 
Pramono mengaku prihatin,  motivasi menjadi anggota DPR RI didominasi untuk meraih kekuasaan dan ekonomi. Sebaliknya Pramono menilai  langka seorang caleg berkeinginan menjadikan lembaga terhormat itu untuk melahirkan gagasan besar untuk kepentingan bansga dan negara. Karena itu, banyak caleg yang berlatar bekalang pengusaha, dan popularitas seperti artis, maka biaya politik makin mahal. 
 
“Konsekuensinya maka wakil rakyat itu tidak seperti kita bayangkan ketika menjadi aktifis mahasiswa di kampus untuk melahirkan gagasan besar untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya.
 
Mantan Sekjen PDI Perjuangan itu mengungkapkan menghadapi pesta demokrasi lima tahunan sekali itu, seorang caleg minimal akan menghabiskan biaya politik caleg itu Rp300 juta sampai Rp400 juta. Jika caleg itu berasal dari pengurus partai maka akan mengeluarkan biaya lebih tinggi lagi yakni Rp800 juta sampai Rp1 miliar. 
 
Jika berasal dari TNI/Polri menghabiskan Rp800 juta sampai Rp1,2 miliar, pengusaha sampai Rp1,5 miliar sampai Rp6 miliar. “Di luar itu ada yang menghabiskan Rp 22 miliar. Bahkan  ada yang membiayai konsultan Rp18 miliar. Inilah yang memperkuat ideologi pasar-pragmatis dan terjadi sampai ke daerah-daerah,” ujarnya. (rep1)