KPAI: Anak Hamil Berhak Ikut UN
Pekanbaru-UJIAN Nasional menjadi satu satunya syarat kelulusan seorang siswa dalam masa pendidikannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta sekolah mengizinkan agar anak sekolah yang hamil dan bermasalah hukum tetap diikutkan dalam UN.
"Kami mengerti adanya proses hukum yang harus dijalani anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) namun, anak-anak jangan dicabut hak pendidikannya dengan tidak boleh mengikuti UN," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Badriyah Fayumi, dalam jumpa pers KPAI bertema 'Sekolah dan Dinas Pendidikan tak Berhak Larang Siswa Ikut UN' di Jakarta, Kamis (11/4).
Ia menambahkan, sekolah dan Dinas Pendidikan memiliki kewajiban untuk membina anak bangsa tanpa terkecuali termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
KPAI menyoroti tentang larangan beberapa sekolah yang melarang siswanya mengikut UN karena alasan hukum seperti menjadi pelaku pencurian, hamil, terlibat narkoba dan beberapa kasus lainnya. KPAI telah melakukan pertemuan dengan Dinas Pendidikan Kota Jakarta dan Kepolisian Polda Metro Jaya.
"Ada beberapa sekolah yang memberikan solusi untuk mengizinkan anak yang bermasalah hukum untuk mengikuti UN sambil pembinaan dan pendampingan bagi anak," katanya seperti dilansir detikcom.
Polemik pendidikan ini harus segera terselesaikan. Solusi singkat yang dipaparkan adalah sekolah tidak boleh menggunakan otonomi sekolah untuk melarang seorang siswa untuk mengikuti UN. Dan diharapkan Dinas Pendidikan tidak mendukung keputusan sekolah dengan menggunakan otonomi untuk menghilangkan akses pendidikan anak-anak tersebut. "Semuanya ada payung hukumnya. Keputusan Menteri Pendidikan juga sudah ada," ujar Badriyah.
Perlu Reposisi
KPAI juga memandang UN saat ini menjadi momok bagi siswa, orangtua dan pihak sekolah pelaksana UN. Diperlukan reposisi UN agar tidak lagi menjadi satu-satunya indikator kelulusan seorang siswa. "Proses UN, sebelum, saat dan sesudahnya membuat orangtua, anak, guru bahkan kepala sekolah menjadi sangat tertekan karena UN menjadi penentu kelulusan," kata Badriyah.
Menurut KPAI, UN dianggap sebagai sebuah momok untuk psikologis anak yang akan mengikuti UN. Anak-anak ini jadi terkuras waktu dan tenaganya untuk mempersiapkan diri agar lulus UN. "Anak yang duduk di kelas tiga biasanya sudah tidak mempunyai kesempatan menikmati waktu luang karena sibuk dengan les dan try out sekolah," ujar Badriyah.
Tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh anak dan orangtua tetapi juga dari pihak sekolah yang melaksanakan UN. Pihak sekolah akan merasa terbebani untuk meluluskan anak didiknya 100 persen sehingga terkadang menghalalkan berbagai cara. "Dalam proses UN-nya, pihak sekolah juga tertekan karena kelulusan 100 persen seolah-olah menjadi citra sekolah di masyarakat. Selain itu juga ditargetkan oleh Kemendikbud dan kepala daerah," jelasnya.
KPAI menganggap implementasi UN saat ini sebagai 'kekerasan negara pada anak'. Selain itu, Badriyah juga menegaskan sikap KPAI tetap menyarankan reposisi UN yang tidak lagi menjadi tolak ukur kelulusan seorang siswa. "Kita dari awal mengusulkan reposisi UN bukan sebagai penentu kelulusan. Tetapi harus berdasarkn multiple intelegency anak," kata Badriyah.
Dia melanjutkan, seharusnya sistem pendidikan di Indonesia juga memperhitungkan kecerdasan anak-anak di bidang lainnya dak tidak hanya terfokus pada mata pelajaran yang diujikan pada UN saja. Sistem inilah yang akan menjadi acuan kelulusan seorang siswa dengan memperhitungkan aspek secara keseluruhan tanpa menyamaratakan seperti yang terjadi saat ini.
"KPAI memandang, UN saat ini sarat dengan komersialisasi, dan diskriminasi antara pelajaran yang diujikan dan yang tidak diujikan dalam UN," pungkasnya. (rep04)
Tulis Komentar