UU Korupsi Penuh dengan Pasal Karet
Jakarta - Undang-undang Korupsi di Indonesia dinilai sebagai UU karet, karena tidak mencakup substansi hukum. Siapapun bisa terkena pasal ini, padahal orang itu belum tentu melakukan korupsi.
Hal itu disampaikan oleh pengacara terdakwa kasus bioremediasi Chevron, Maqdir Ismail. "Akar masalah pada pasal dua dan tiga UU korupsi sangat karet, siapapun bisa kena, orang tidur bisa kena korupsi, ini persolan, bukan masalah penegakan hukum yang begitu pandai memanipulasi fakta di pengadilan.
Ia mencontohkan kasus yang pernah ditanganinya seperti kasus Bulog dan korupsi pengadaan IT di PLN yang melibatkan direktur PLN Eddie Widiono. Menurutnya, hampir semua yang menjadi terdakwa tidak menerima uang korupsi, namun mereka tetap dihukum.
"Eddie Widiono memberikan kuasa pada general manager pengadaan IT pada 2003, nilainya mencapai Rp92 miliar. Kemdian datang ahli IT dari Depok tahun 2007. Dia bilang harganya terlalu mahal 100%. Eddie kemudian dihukum 5 tahun, padahal dia tidak terima uang, dia hanya memberi kuasa."
Pada kasus korupsi di Bulog, yang terjadi adalah penipuan oleh pengusaha lokal. Modusnya, pengusaha lokal membeli sapi ke Australia, namun pada praktiknya tidak ada pembelian itu. Saat Bulog mengecek, pengusaha lokal itu menunjukkan sapi milik orang lain.
“Ini kan pengusaha yang berbuat, tetapi yang dihukum salah satu direktur Bulog dihukum penjara, padahal kan dia tidak berbuat korupsi. Segala argumen bahwa mereka adalah korban, pengadilan tidak mau tahu, karena ini korupsi," tambahnya.
Menurut Maqdir, dalam kasus bioremediasi Chevron, Kejaksaan Agung telah menetapkan seseorang yang tidak melakukan kejahatan korupsi. Ia menilai kasus tersebut sarat dengan kepentingan tertentu.(rep03)
Tulis Komentar