Politik

Politik Dinasti Sah, Korupsi Daerah Dikhawatirkan Tinggi

Jakarta-Putusan MK terkait disahkannya politik dinasti di pilkada disayangkan kalangan parpol. Secara hukum, memang konstitusi tidak melarang praktek politik dinasti. Namun, secara politik, larangan politik dinasti dibutuhkan agar tidak terjadi dominasi satu keturunan tertentu untuk memimpin suatu daerah. 
  
"Tentu ini menjadi politik dinasti (hidup kembali), imbasnya kecenderungan korupsi menjadi meningkat," kata Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di gedung parlemen, Jakarta, Rabu (8/7/2015).
  
Menurut Fadli, dalam politik dinasti, kecenderungan dominasi kekuasaan di satu daerah sangat kuat. Sudah banyak contoh daerah yang kepala daerahnya memiliki hubungan kekeluargaan tidak memiliki indeks kemajuan yang baik. Kepentingan publik acapkali terabaikan oleh kebutuhan sekelompok golongan di politik dinasti.
  
"Kalau ada dominasi kekuasaaan di kelompok kecil, saya kira daerah itu akan menjadi tertinggal," kata Wakil Ketua DPR itu. Menurut Fadli, seharusnya MK bisa memahami maksud perumus undang-undang dalam melarang politik dinasti. Justru, dengan memberikan jeda satu periode kepada seseorang yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent untuk maju, akan memberikan kesempatan kepada yang lain untuk maju. 
  
"Kita ingin meningkatkan kualitas hasil pilkada, calon kepala daerah tentu harus memiliki kredibilitas dan independen, tidak hanya mengandalkan hubungan keluarga untuk menang," ujarnya.
  
Fadli menilai, apapun pandangan yang terjadi, putusan MK sudah terjadi. Dia khawatir jika putusan MK itu akan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. "Putusan MK ini final dan mengikat. Sangat disayangkan. Keputusan Itu tidak bisa di-judicial review," katanya.
  
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arif Wibowo mengaku sudah memprediksi sejak awal, MK akan membatalkan pasal larangan politik dinasti. DPR selaku pembuat UU memahami tidak ada aturan pasti di konstitusi untuk melarang politik dinasti, namun tetap menerapkannya demi kepastian keseimbangan partisipasi politik di pilkada.
  
"Putusan MK wajar, tapi memprihatinkan," kata Arif saat dihubungi.
  
Menurut Arif, praktis, dengan posisi saat ini, politik dinasti tetap akan bisa berkembang. Padahal, aturan itu dibuat agar parpol tidak seenaknya mencalonkan kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent. "Problemnya kalau tidak diatur undang-undang adalah kembali ke aturan partai. Kalau peraturan internal partai (terkait larangan politik dinasti) tidak ketat, ya pasti lolos semua," ujarnya.
  
Karena itu, mengingat larangan politik dinasti merupakan kesepakatan bersama pembuat undang-undang, sebaiknya ada semangat di antara parpol untuk menerapkan itu. Parpol harus mengatur secara internal larangan politik dinasti itu, demi menjaga etika politik yang pernah disepakati. "Partai tidak boleh berpikir hanya sekadar menang. Ini dalam rangka agar potensi oligarki tidak tumbuh berkembang," katanya.(rep05)