Ingin Tahu Sosok Mary Jane? Terpidana Mati yang Ditunda Ekskusi Mati
Jakarta-Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda eksekusi terhadap Mary Jane Veloso (30), terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Rabu (29/4/2015). Alasannya, Pemerintah Filipina membutuhkan kesaksian Mary Jane setelah tersangka perekrut Marry Jane, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina, Selasa (28/4/2015).
Siapakah sosok ibu dua anak yang namanya mencuat di detik-detik terakhir drama eksekusi mati di Nusakambangan, Jawa Tengah?
Mary Jane ditangkap, diadili, dan divonis mati pada 2010 setelah terbukti menyelundupkan 2,6 kilogram heroin ke Indonesia.
Menurut laporan Rappler, Mary Jane terlahir di sebuah keluarga miskin di Nueva Ecija. Ia adalah putri bungsu dari lima bersaudara. WN Filipina ini dikatakan hanya menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah atas. Tak lama kemudian, ia menikah dan dikaruniai dua orang anak. Sayangnya, pernikahannya tak berlangsung lama.
Agus Salim, pengacara Mary Jane, mengatakan bahwa kliennya sempat bekerja di Dubai sebagai pekerja domestik. Sebelum kontrak kerja selama dua tahun usai, Mary Jane kembali ke Filipina lantaran dia nyaris diperkosa.
Bagaimana Mary Jane terlibat kasus penyelundupan heroin?
Pada awal 2010, Agus mengatakan, Mary Jane sempat ditawari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur oleh seseorang yang bernama Christine atau Kristina. Tetapi, ketika ia tiba di Kuala Lumpur, pekerjaan itu dikatakan tidak lagi tersedia.
Kristina kemudian meminta Mary Jane pergi ke Yogyakarta, Indonesia, sebagai gantinya. Agus mengatakan, Kristina memberikannya koper baru dan uang sebesar 500 dollar AS. Mary Jane mengatakan, kopernya tampak berat tetapi kosong.
Pada tanggal 25 April 2010, ia tiba di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, dengan menumpang AirAsia dari Kuala Lumpur. Ketika kopernya melewati pemindai sinar-X, petugas curiga. Selanjutnya, mereka pun menemukan heroin yang dibungkus dalam aluminium foil dengan berat total 2,6 kilogram tersembunyi di dalam lapisan koper. Mereka memperkirakan, heroin itu bernilai 500.000 dollar AS.
Mengapa ia dihukum mati?
Indonesia, yang memiliki undang-undang anti-narkoba terberat di dunia, mengategorikan pelanggaran terkait narkoba sebagai kejahatan luar biasa yang patut diganjar hukuman mati.
Agus mengatakan, Mary Jane tidak bisa membela diri dengan baik. Mary Jane tidak diberi pengacara atau penerjemah ketika polisi menginterogasinya dalam bahasa Indonesia. Padahal, Mary Jane hanya berbicara bahasa Tagalog.
Kemudian, selama persidangannya, pengadilan menyediakan penerjemah yang tidak berlisensi. Pengacaranya saat itu adalah pembela umum yang disediakan oleh polisi.
Akhirnya, hakim menjatuhkan vonis mati kepada Mary Jane. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni vonis seumur hidup.
Apa yang Pemerintah Filipina lakukan untuk membantunya?
Pada bulan Agustus 2011, Presiden Benigno S Aquino III mengajukan permohonan grasi atas nama Mary Jane ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu, Indonesia memiliki moratorium eksekusi dan permintaan grasi sehingga permintaan itu tidak ditindaklanjuti.
Pada bulan Oktober 2014, Presiden Joko Widodo dilantik. Tak lama setelah itu, ia mengumumkan bahwa situasi narkoba di Indonesia adalah dalam keadaan darurat. Sebanyak 50 orang Indonesia meninggal setiap hari akibat narkoba. Ia juga mengatakan akan menolak semua permintaan grasi dari narapidana narkoba di penjara.
Pada Januari 2015, Jokowi menolak grasi yang diajukan Mary Jane.
Pengacara yang disewa oleh Pemerintah Filipina pun mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Pada tanggal 9 Februari, Presiden Aquino menyinggung kasus Mary Jane ke Jokowi yang melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke Filipina. Kemudian bulan yang sama, pada 19-21 Februari, Pemerintah Filipina juga membantu ibu Mary Jane, saudara perempuan, dan dua anaknya untuk mengunjunginya di penjara di Yogyakarta.
Pada tanggal 24 Maret, Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario mengunjungi Mary Jane di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan di Yogyakarta untuk memeriksa kondisinya.
Apa yang terjadi dengan permohonannya?
Pada tanggal 3-4 Maret 2015, sidang percobaan digelar di Sleman untuk menentukan apakah ada bukti baru dalam kasus Mary Jane.
Pengacara berpendapat, kasus Mary Jane layak ditinjau kembali lantaran ia tidak didampingi penerjemah yang mumpuni. Kepala sekolah bahasa asing di Yogyakarta bersaksi bahwa penerjemah pada saat itu memang siswa mereka.
Pengacara Mary Jane juga menunjukkan preseden. Pada tahun 2007, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan ulang terhadap kasus Nonthanam M Saichon, warga Thailand, yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2002. Ia dinilai terbukti menyelundupkan 600 gram heroin. Saat itu, Nonthanam juga memiliki permasalahan penerjemah. Hukumannya bahkan diringankan menjadi penjara seumur hidup.
Agus mencontohkan bahwa di pengadilan, Saichon tahu apa yang ia lakukan karena heroin itu disembunyikan di celana dalamnya dan ia dinyatakan positif narkoba. Di sisi lain, tes narkoba terhadap Mary Jane hasilnya negatif dan ia tidak tahu kopernya berisi heroin.
Tetapi, pada tanggal 25 Maret, Mahkamah Agung Indonesia menolak permintaan peninjauan. (rep05)
Tulis Komentar