Sosialita

Jangan Salah, Copet Juga Gentayangan di Kota Paris

Paris! Kota impian, kota romantis, kota bersejarah, dan tentunya kota mode! Sayangnya, Paris yang gemerlap belakangan ini dibuat heboh dengan semakin merajalelanya para pencopet dan penipu. Salah satu teman saya yang sedang berlibur di Paris pun jadi korban, lensa kameranya lenyap saat sedang antre memasuki salah satu tempat wisata.

Hilang dompet dan telepon genggam sudah menjadi "langganan" di dalam metro Paris. Para pencopet (pickpockets) ini layaknya sebuah organisasi yang diatur oleh beberapa pemimpin dengan anak buah yang sebagian besar adalah anak-anak.

Saya masih ingat, bagaimana dulu adik saya ketika akan mengunjungi kakaknya di Montpellier, dia bersama teman-temannya yang satu kuliah di Belanda mampir untuk wisata dua hari di Paris.

Malangnya, adik saya kehilangan dompetnya di dalam metro. Modusnya selalu sama, para pencopet ini adalah anak-anak antara 12 dan 14 tahun. Mereka selalu berjumlah dua hingga empat orang. Saat di pemberhentian metro mendekat, dua pencopet itu akan menggencet si korban hingga tak bisa berkutik. Lalu temannya yang satu beraksi mengambil barang milik korban. Begitu pintu metro terbuka, mereka akan kabur secara cepat dan menyebar.

Belakangan ini, aksi pencopetan memang sudah terkenal di dalam metro Paris, jadi semakin merajalela. Di metro, para pickpockets sudah semakin terlihat terang-terangan. Polisi melakukan razia hingga berkali-kali pun tak membuat mereka jera. Mereka begitu lihai dan terorganisasi secara rapi.

Setiap kali anak-anak remaja itu mulai beraksi dan mencari mangsa, selalu ada pemimpin mereka yang mengawasi. Jika dulu mereka berani melakukan kejahatan ini kebanyakan di metro, kini antrean memasuki museum dan tempat-tempat pariwisata pun sudah menjadi kawasan jajahan para pencopet.

Selain mencopet, cara lain untuk mendapatkan uang atau barang milik korban dengan paksaan adalah penipuan. Mereka seolah-olah bekerja sukarelawan untuk kemanusiaan, meminta para turis atau orang yang lewat untuk menandatangani sebuah petisi. Petisi untuk kedamaian, pertolongan anak-anak korban perang, dan masih banyak lainnya.

Mereka yang tak mengerti, kebanyakan merasa tersentuh, lalu bersedia memberikan tanda tangan  partisipasi demi kemanusiaan.

Malangnya, begitu tanda tangan diberikan, paksaan pemberian uanglah sebagai tanda partisipasi untuk memberikan dana kemanusiaan yang akan diterima si pemberi tanda tangan. Paksaan ini kerap membuat yang memberi tanda tangan jadi serbasalah, dan akhirnya mengeluarkan uang receh. Kadang diterima. Namun, seringnya ditolak seolah uang receh tak ada artinya.

Nah, saat itulah terjadi sentuhan fisik. Jika bernasib malang, maka penipu yang telah tahu di mana korban menyimpan dompetnya akan mengambil secara diam-diam.

Sejak tahun lalu, aksi pencopetan dan penipuan dengan modus operasi yang sama meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya.

Februari lalu, saya berada di Paris untuk suatu pekerjaan. Teman saya kebetulan sedang berlibur di Paris. Jadilah kami melakukan temu janji di salah satu tempat yang terkenal untuk pengambilan gambar Menara Eiffel, yaitu Trocadero. Saya yang datang lebih dulu, harus menunggu sampai hampir satu jam lamanya, tentu saja sedikit kesal karena pegal dibuat menunggu.

museum-louvre-paris
Museum Louvre Paris. Karyawan museum sempat mogok kerja dan demo akibat ulah para pencopet yang sudah keterlaluan. (DINI KUSMANA MASSABUAU)

Namun ketika tahu teman saya terlambat datang karena kena musibah, saya jadi memarahi diri sendiri karena tak terpikir jika teman saya itu sedang mengalami kesulitan. Rupanya lensa yang ditaruh dalam tas kameranya hilang. Yang membuat saya heran, bagaimana cara si pencopet bisa mengambil lensa kamera yang lumayan besar itu?

Teman saya, Dina, menerangkan bahwa saat berada dalam metro, dia berada di antara beberapa anak remaja perempuan. Menurut teman saya, wajah-wajah mereka seperti berasal dari Eropa Timur. Teman saya sibuk dengan peta Paris di tangannya, sementara kamera dia gantungkan di lehernya.

Saat mendekati pemberhentian sebuah stasiun metro, para anak remaja itu mendesak teman saya seolah-olah mereka kesulitan untuk lewat. Padahal di saat yang sama, teman saya pun harus keluar di stasiun itu untuk berganti metro.

Kemudian teman saya keluar metro dan menuju stasiun lainnya, menemui saya di Trocadero. Saat dia menaiki tangga, barulah dia sadar jika tasnya sudah terbuka. Setelah dicek, rupanya salah satu lensa kameranya telah lenyap.

Panik! Teman saya meminta tolong beberapa orang di sana. Malangnya, orang-orang Paris terkenal super-sibuk! Mereka hanya menyuruh teman saya menghubungi polisi terdekat atau tempat informasi.

Teman saya yang tak bisa berbahasa Perancis hanya bisa pasrah karena tak tahu harus ke mana. Polisi terdekat pun, dia tak tahu. Akhirnya setelah sempat panik dan kebingungan karena disuruh beberapa orang melapor tanpa dirinya mengerti, dia memutuskan menemui saya sesuai janji, dan meminta saya untuk membantunya.

Saya pun mengajaknya ke kantor polisi untuk melaporkan aksi tak menyenangkan itu. Setelah mengisi formulir dan lumayan lama menunggu, akhirnya kami diterima salah satu petugas. Polisi menanyakan beberapa pertanyaan yang saya terjemahkan pada teman saya. Kesempatan, saya katakan jika saya juga jurnalis bagi media di Indonesia. Selanjutnya, sayalah yang banyak bertanya ke petugas polisi tersebut.

Rupanya, sudah enam tahun belakangan ini, semakin banyak memang para pendatang gelap dari Eropa Timur. Kebanyakan berkebangsaan Romania. Mereka memasuki Perancis dengan cara ilegal dan mereka sangat terorganisasi.

Tujuan mereka datang ke Perancis tentunya untuk memperbaiki nasib. Namun, sebagai pendatang gelap, hak mereka sayangnya tak bisa diakui oleh Pemerintah Perancis. Anak-anak pun banyak yang tak bisa memasuki sekolah karena tak jelas statusnya.

Sebenarnya, menurut si petugas, pemerintah memperbolehkan anak-anak tersebut untuk bersekolah. Hanya, karena para orangtua mereka tidak pernah tinggal menetap, selalu berganti tempat dan hidup dalam mobil karavan; sulit bagi si anak untuk bersekolah secara teratur.

Anak-anak yang hidup tak menentu ini yang sering dimanfaatkan oleh kelompok kriminal. Kerap kali, orangtua mereka sendiri yang mendidiknya sebagai pencopet. Malang sekali memang nasib anak-anak tersebut.

Lalu bagaimana mereka bisa menjalankan modus operasi yang begitu rapi, dan kok herannya polisi sepertinya tak bisa berkutik?

Dengan singkat, petugas polisi menerangkan jika razia yang mereka lakukan dari tahun ke tahun selalu terbentur oleh masalah yang sama. Usia anak-anak pencopet tersebut yang termasuk di bawah umur kerap tak bisa dibawa hingga pengadilan karena terbentur banyak hal. Dari segi usia, mereka dianggap masih anak-anak, proses pengadilan yang panjang dan memakan biaya, dan masih banyak faktor lainnya yang akhirnya membuat polisi terpaksa membebaskan mereka. (rep05)