Dana Bansos dan Hibah Riau Banyak Salah Sasaran
PEKANBARU - Pos anggaran hibah yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Riau setiap tahunnya di APBD Riau terus mengalami peningkatan. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir dana hibah mengalami peningkatan signifikan yakni dari Rp225 miliar naik menjadi Rp1,4 triliun. Namun sayang, besarnya pos alokasi dana hibah itu tidak berbanding lurus dengan realisasi dilapangan atau sebagian besar tidak sesuai peruntukannya.
Hal ini terungkap dalam ekspos refleksi penganggaran daerah 2013 yang digagas Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Senin (30/12). Peneliti FITRA Riau, Triono Hadi dalam pemaparannya mengatakan, mayoritas pelanggaran dalam penyaluran dana hibah ini akibatnya banyaknya lembaga dan yayasan yang dibantu APBD itu adalah fiktif. "Kami melakukan penelitian dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) proposal dana hibah ini. Ada 600 lembaga yang kita cek, seperti alamat kantor dan sekretariatnya, ternyata tidak ada. Artinya ini fiktif," tukasnya.
Dipaparkannya, dari Rp1,4 triliun dana hibah itu atau 17,5 persen dari total APBD Riau, Rp851 miliar dianggarkan untuk lembaga dan yayasan diluar dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS).
"Ini fakta, bahwa dana hibah yang besar ini belum mampu mengakomodir kewajiban Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan skala prioritas. Misalnya saja untuk pos anggaran pendidikan yang cuma 20 persen," jelasnya seperti dilansir halloriau.com.
Dilanjutkan Triono, anggaran dana hibah ini hampir setiap tahun menjadi temuan dan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Tetapi temuan ini tidak pernah menjadi evaluasi serius oleh Pemerintah. "Celakanya, penyalahgunaan dan penyaluran dana hibah ini tidak dilihat sebagai pelanggaran oleh penegak hukum, seperti Kejaksaan dan ini tidak pernah ditindaklanjuti," tukasnya.
Triono mencontohkan temuan BPK terhadap dana bansos dan hibah tahun 2011 lalu, dimana terdapat temuan potensi kerugian negara sebesar Rp12,6 miliar dan tahun 2012 kembali merugikan daerah Rp9,2 miliar. "Jadi hampir setiap tahun dana hibah ini selalu menjadi catatan dari BPK. Tetapi tidak pernah ditindaklanjuti pihak penegak hukum, inikan aneh, padahal pelanggarannya sudah jelas," tandasnya.
Oleh sebab itu, FITRA berharap DPRD Riau selaku pengawas pengguna anggaran, bisa lebih kritis dalam menyikapi persoalan ini. Selain itu, FITRA juga sudah menyampaikan hasil temuan dan pelanggaran ini kepada pihak penegak hukum, namun belum ada tindak lanjut.
Pada kesempatan itu, Triono juga menyorot saat ini para Bupati Provinsi Riau masih mengebiri hak desa yang seharusnya diterima sesuai Permendagri dan Peraturan Pemerintah. Dia mengatakan bahwa keuangan desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (ABPN) yang telah diatur oleh Undang-undang, yang mana setiap desa mendapatkan jatah Rp1,4 miliar dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD).
"Namun fakta menunjukkan aturan itu hanya sebatas aturan yang nol dalam implementasi di Daerah. Di Provinsi Riau hampir semua Kabupaten melabrak kedua aturan itu. Dengan mengebiri alokasi anggaran yang seharusnya mutlak menjadi hak pemerintah desa yang dikelola sebagai penunjang pembangunan desa," sebutnya.
Dia mengatakan, jika dilihat pengalokasian anggaran yang diberikan kepada pemerintah desa di 10 Kabupaten di Riau, tidak sebanding dengan peningkatan dana perimbangan yang masuk menjadi pendapatan daerah. Disebutkannya bahwa peningkatan belanja APBD yang dialokasikan kepada pemerintah desa yang melebihi peraturan perundang-undangan hanya Kabupaten Bengkalis mencapai 13 sampai 16 persen. "Sedangkan untuk 9 kabupaten lagi tidak mencukupi 10 persen pengalokasian dana ADD yang berasal dari dana perimbangan pusat dan daerah," pungkasnya. (rep1)