Pemerintah Didesak Audit Perusahaan Pemilik Konsesi Karhutla
Di tengah kebakaran hutan dan lahan, pemerintah perlu mulai mengaudit perusahaan-perusahaan pemilik konsesi. Audit berfungsi menghitung aset dan memastikan perusahaan tetap dapat membayar kompensasi ketika terbukti terlibat dalam kasus kebakaran hutan, baik pembiaran maupun tindakan sengaja membakar.
Hal itu diungkapkan pengamat lingkungan dan mantan Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Achmad Santosa.
"Saat ini, intelijen kriminal sudah harus jalan untuk lihat aset-aset mereka sehingga ketika tidak bisa memenuhi kewajiban ganti rugi akan tahu aset-aset apa saja yang bisa digunakan," kata Achmad yang kini juga menjadi Ketua Tim Satgas Pencegahan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Achmad mengatakan, kewajiban memberikan ganti rugi merupakan bentuk hukuman pidana atas pembiaran atau kesengajaan membakar hutan dan lahan. Menurut dia, sanksi administratif seperti pembekuan izin yang selama ini digagas tidak cukup.
"Kalau tidak ada pidana, bagaimana kita bisa mengembalikan kerugian yang mereka sebabkan?" ujar Achmad dalam diskusi penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan yang digelar Indonesian Center for Environmental Law pada Kamis (10/9/2015) di Jakarta.
Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagio, mengatakan bahwa langkah penegakan hukum untuk memberikan sanksi administratif dan pidana tidak perlu menunggu upaya menanggulangi kebakaran hutan selesai, tetapi bisa dilakukan paralel.
Pengumpulan bukti dan penetapan tersangka bisa mulai dilakukan. Ia meminta pemerintah untuk mendorong kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jaksa, dan polisi sehingga proses hukum bisa berlangsung lebih cepat. "Semua institusi dikerahkan, jangan cuma KLHK," ujarnya.
Henri mengingatkan, ada banyak kasus hukum terkait kebakaran hutan dan lahan yang belum selesai. "Sekarang saja proses hukum kebakaran hutan tahun 2014 baru masuk pengadilan, bahkan beberapa belum masuk," ujarnya.
Sebagai informasi, ribuan titik api indikasi adanya kebakaran hutan terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Banyak titik api terdapat di lahan konsesi perusahaan. Data Global Forest Watch Fires mengungkap, seminggu terakhir, ada 103 titik api di Riau. Sebanyak 26 titik api ada di lahan konsesi pulp dan 34 lainnya di konsesi kelapa sawit.
Sementara itu, di Sumatera Selatan, jumlah titik api mencapai 527 dalam sepekan terakhir, 208 di antaranya terdapat di lahan konsesi akasia.
Henri menambahkan, selain mengaudit perusahaan, pemerintah daerah juga perlu diaudit terkait langkahnya mencegah kebakaran hutan dan lahan. "Sudah saatnya BPK lakukan audit untuk melihat apakah program dan kinerja pemerintah daerah beres," katanya. (rep05)