Bahaya: Tanah Pulau Jawa di Ambang Krisis

Kamis, 12 Maret 2015

Jakarta-Pulau Jawa saat ini dinilai sangat kritis jika dilihat dari buruknya daya dukung lingkungan dan tingginya konflik agraria. Namun, izin-izin penambangan masih terus diberikan dengan mengonversi daerah tangkapan air, hutan, dan kawasan pertanian.
 
"Data kami, dari 2003-2013, izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa mencapai 1.000-an dengan total wilayah yang akan dikonversi 471.378 hektar," kata Hendro Sangkoyo, peneliti pada School of Democratic Economics, di Jakarta, Selasa (10/3/2015).
 
Data itu belum termasuk lahan yang dikuasai blok minyak, serbuan baru untuk semen, ekstraksi perusahaan air, konversi untuk properti dan kawasan industri baru, serta infrastruktur industri internasional seperti pelabuhan kendaraan bermotor Cilamaya. "Melihat konversi lahan besar-besaran itu, situasi Jawa ke depan bisa dipastikan makin mengerikan dan sangat rentan konflik," katanya.
 
Laporan penelitian Jaringan Advokasi Tambang hingga 2013, izin tambang karst di Pulau Jawa ada 76 izin. Izin di 23 kabupaten, 42 kecamatan, dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar.
 
Berdasarkan data Kompas 2014, sejumlah perusahaan semen dari dalam dan luar negeri telah dan siap masuk di Jawa, di antaranya Siam Cement (Thailand) di Jawa Barat, Semen Merah Putih (Wilmar) di Banten, Ultratech di Wonogiri, dan Jui Shin Indonesia di Jawa Barat. Adapun Semen Puger akan beroperasi di Jember, dan Semen Panasia di Jawa Tengah. Belum yang akan masuk ke luar Jawa.
 
Pulau Jawa tak hanya dibebani industri ekstraktif. Jawa juga pulau terpadat dengan 1.057 jiwa per kilometer. Lebih dari 50 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap masuknya industri ekstraktif di Jawa berpotensi bersinggungan dengan masyarakat.
 
Menurut Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono, krisis di Pulau Jawa bisa dilihat dari maraknya konflik terkait perebutan sumber daya alam dan agraria. Contohnya, konflik terkait pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati, Jateng, yang mempertentangkan petani yang mempertahankan lahan dan sumber daya airnya dengan industri.
 
Tidak konsisten
 
Di Kabupaten Pati-salah satu lumbung pangan di Jateng-sejumlah industri semen siap masuk. Petani yang menolak tambang sebenarnya ingin mempertahankan tanah dan kemandirian sebagai petani.
 
"Tahun 2012, kami menggagalkan rencana penambangan semen. Tahun ini, datang lagi dan dapat izin pemerintah kabupaten setelah RTRW yang semula untuk pertanian diubah untuk industri," kata Gunarti, perempuan petani Sedulur Sikep-Pati. Ia menyebut, semboyan daerah itu "Pati Bumi Mina Tani".
 
Menurut Eko, izin tambang yang marak di Pulau Jawa menunjukkan pemerintah tak konsisten menerapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pada rencana itu, pembangunan didorong meningkatkan kedaulatan pangan, tidak boleh merusak daya dukung lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem, serta tidak menambah kesenjangan sosial.
 
Izin tambang yang marak juga dinilai berpotensi memiskinkan masyarakat lokal yang rata-rata petani, sehingga bisa memperlebar kesenjangan sosial. Konflik sosial di banyak daerah menunjukkan bahwa pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif itu menuai masalah.
 
"Penelitian kami di Rembang, tanah-tanah yang akan diambil alih perusahaan semen tidak sepenuhnya milik Perhutani. Sebagian berstatus SPPT jauh sebelum kedatangan tambang," kata Eko. (rep05)