Jakarta - Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch, Siti Juliantari, mengatakan penerapan Kurikulum 2013 sudah menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Indikasinya bisa dilihat dari keberhasilan pengadaan buku dan kualitas pelatihan guru.
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan indikator keberhasilan kurikulum ini bisa dilihat dari ketersediaan buku dan kualitas tenaga pengajar. Tapi ternyata ini masih belum berhasil dipenuhi oleh mereka," kata Siti dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 28 Agustus 2014.
Siti mengatakan ada enam tanda yang menunjukkan kegagalan pelaksanaan kurikulum yang diterapkan mulai tahun lalu ini. Di antaranya, buku pelajaran untuk siswa belum tersedia di semua sekolah. Hal ini membuat murid dan orang tuanya mengadakan sendiri buku tersebut dengan cara memfotokopi, membeli di toko buku, atau mengunduh dari Internet.
Nah, uang yang dikeluarkan oleh mereka, kata dia, ternyata tak diganti oleh sekolah. Alasannya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) terbatas dan hanya dialokasikan untuk membayar buku yang telah dipesan oleh sekolah kepada percetakan. "Lalu siapa yang akan mengganti uang mereka?" ujarnya. Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan semua biaya pengadaan buku, termasuk fotokopi, ditanggung oleh BOS.
Di sisi lain, kata dia, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan kurikulum ini. Mereka yang sudah dilatih pun paling hanya mengikuti pelatihan selama dua hingga lima hari. Sebagian dari mereka juga belum mendapat buku pegangan. Hal ini dikhawatirkan membuat kualitas belajar-mengajar makin rendah.
Praktisi pendidikan, Weilin Han, mengatakan Kurikulum 2013 sebenarnya tak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Basis tematik yang diklaim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai hal baru ternyata sudah dipakai pada Kurikulum 2004. Naskah akademik dan penilaian yang disebut Kementerian autentik juga merupakan saduran dari sumber lain.
Weilin menyebutkan kurikulum ini juga membuat pemborosan. Sebab, Kementerian berulang kali mengubah isi buku pelajaran lantaran tak sesuai dengan yang diharapkan. "Untuk buku tema 1 saja berubah lima-enam kali," katanya.
Karena itu, aktivis dari Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo, menyarankan pemerintah segera menghentikan penerapan kurikulum tersebut. Soalnya, menurut dia, makin lama penerapan, kerugian akan bertambah besar. "Kerugian uang, waktu, sumber daya, dan anak-anak makin tersesat," ujarnya.
Dia mengatakan lebih baik kurikulum tak ditentukan oleh pemerintah pusat, tapi diserahkan ke sekolah. Sebab, mereka yang paling tahu kondisi dan kebutuhan siswanya. "Sekolah bisa menggunakan kurikulum yang bukunya sudah ada, jangan takut menyimpang dari pendidikan nasional," katanya.
Sedangkan Siti Juliantari menyarankan agar Kementerian kembali menggunakan Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Soalnya, infrastruktur kurikulum itu sudah ada. "Daripada menerapkan yang tak jelas," ujarnya seperti dilansir Tempo.co. (rep03)