Pekanbaru-Mantan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal, Kamis (22/5) memberikan kesaksiannya dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tikpikor Pekanbaru untuk mantan ajudannya Said Faisal, terdakwa pemberi keterangan palsu dan membantu uang suap Rp500 juta. Rusli dihadirkan oleh jaksa KPK, Andi Suharlis.
Dalam keterangannya kepada Ketua Majelis Hakim, I Ketut Suarta, Rusli dengan tegas membantah kalau dirinya pernah memerintahkan Said Faisal meminta uang Rp500 juta kepada Lukman Abbas, mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau. "Saya tidak pernah memerintahkan Faisal ataupun Nuardi (ajudan lainnya, red) untuk meminta uang kepada Lukman Abbas. Tidak pernah hakim yang mulia," kata Rusli.
Rusli tidak mengetahui apakah Faisal dan Nuardi pernah menghubungi Lukman. "Kalau mereka menghubunginya sendiri, saya tidak tahu," ujar Rusli. Setelah itu, Rusli memberi tanggapan yang menyudutkan Faisal. Dia mengaku tahu dengan suara Faisal dan Lukman dalam rekaman pembicaraan yang berhasil disadap KPK. "Saya tidak bisa memastikan. Sepertinya, mungkin itu suara Faisal dan Lukman. Sepertinya mirip, tapi saya tidak bisa memastikan itu," kata Rusli kepada hakim.
Atas pernyataan Rusli itu, Faisal tidak memberi komentar banyak. Ia hanya mengaku tidak mengerti, tidak tahu dan tidak kenal dengan suara dalam rekaman yang didengarkan. "Saya tidak tahu yang mulia. Untuk komentar keterangan saksi (Rusli, red) tidak ada," kata Faisal.
Setelah mendengarkan keterangan Rusli, majelis hakim menutup sidang dan dilanjutkan pada bulan depan. "Saksinya Nuardi dan keterangan ahli dari jaksa KPK," kata I Ketut. Said didakwa KPK memberikan kesaksian palsu di persidangan. Ia juga didakwa ikut serta dalam memuluskan aksi penyuapan Rp500 juta, dalam proyek PON XVIII-2012 Riau.
KPK menetapkan Said Faisal sebagai tersangka pada 17 Februari lalu. Said disangkakan pasal 22 jo pasal 35 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta. Selain itu, dia juga diduga melanggar pasal 15 jo pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 56 KUHP.
Pasal tersebut adalah mengenai setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Rusli sendiri, dalam kasus suap PON dan korupsi kehutanan di Riau sudah divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp1 miliar. Bila tidak dibayar, terdakwa diwajibkan menjalani hukuman selama 6 bulan kurungan sebagai subsidair. Rusli dinilai hakim, secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Rusli dinilai terbukti hakim melanggar 3 dakwaan KPK. Dalam kasus kehutanan, Rusli dinilai terbukti melanggar pasal 2 ayat 2 juncto pasal 18 Undang Undang nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP juncto pasal 56 ayat 1 KUHP.
Dalam dakwaan pertama, terdakwa dinilai melanggar hukum karena mengesahkan BKT-UPHHKHT. Pengesahan itu menyebabkan penebangan hutan alam dan merugikan negara Rp265 miliar. Untuk kasus suap PON, Rusli Zainal dinilai terbukti melanggar pasal 12 huruf a Undang Undang nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Rusli terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a Undang Undang nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," tambah Bachtiar. Menurut hakim, Rusli terbukti memerintah pemberian suap ke anggota pansus Lapangan Menembak PON Riau senilai Rp900 juta. Ia juga dinilai memerintahkan suap Rp9 miliar ke Kahar Muzakkir dan Setya Novanto, anggota DPR RI.
Perintah penyuapan itu dipercayakan Rusli ke mantan Kadispora Riau Lukman Abbas. Terakhir, terdakwa terbukti menerima uang Rp500 juta dari PT Adhi Karya, sebagai pemulus penambahan anggaran PON dari pusat senilai Rp290 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK. Sebelumnya, Rusli dituntut hukuman selama 17 tahun, membayar denda Rp1 miliar dan hak politiknya dicabut. (rep05/frc)