BAGANSIAPIAPI - Acara puncak Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan 45 ribu warga Tionghoa di Bagansiapiapi akhirnya mencapai puncaknya, Setelah replika tongkang dibakar dengan sorak sorai masyarakat Tionghoa, kemudian melempar hio yang telah dibakar di tengah-tengah tongkang. Akhirnya, tiang tongkang yang diyakini masyarakat Tionghoa untuk kehidupan kedepannya jatuh di tengah-tengah, yaitu antara arah laut dan arah darat.
"Tahun ini tiang tongkang tepat jatuh antara tengah-tenga arah laut dan arah darat, artinya menurut keyakinan warga tiongha rezeki kedepnnya ada diantara darat dan laut," ujar Tokoh masyarakat Tionghoa, sekaligus Panitia Bakar Tongkang, Hasanto, Senin (24/6/2013), usai Pembakaran tongkang di Lokasi Pembakaran Tongkang jalan Perniagaan Bagansiapiapi.
Puluhan ribu masyarakat Tionghoa menyaksikan ritual bakar tongkang di tempat pembakaran, Jalan Perniagaan Bagansiapiapi. (rep/01)
Sebelum kapal tongkang di bakar di tempat pembakaran, kapal tongkang telah diarak dari Kelenteng Ing Hok King, klenteng yang tertua di Bagansiapiapi menuju keliling Kota Bagansiapiapi dengan diantar puluhan ribu masyarakat Tionghoa. Setelah diarak baru kapal tongkang di bawa ketempat pembakaran. "Sebelum tiba di tempat pembakaran, pukul 14.00 Wib siang tongkang diarak keliling kota dengan diiukuti ribuan masyarakat Tionghoa, baru kemudia pukul 16.00 Wib sore Kapal tongkang di bakar di tempat pembakaran pada pembakaran ini ribuan masyarakat Tionghoa telah menyaksikan arah jatuh tiang tongkang itu," terang Hasanto.
Menurutnya, Apabila tiang layar Tongkang yang di Bakar jatuhnya arah ke Laut maka tahun depan membuat usaha rezekinya ada di laut, dan begitu juga sebaliknya. apabila tiang layar tongkang yang dibakar jatuh kearah darat maka rezeki tahun depan membuat usaha harus di darat. "Namun, tahun ini jatuh tiang tongkang ada di tengah-tenang antara Laut dan darat, maka membuat usaha rezekinya harus di tengah-tengah," cetus Hasanto.
Jelasnya, tahun lalu tiang kapal tongkang jatuh di darat, namun perayaan tahun ini tak begitu banyak perubahan meski jatuh di antara darat dan laut. "Upacara bakar tongkang (replika kapal yang terbuat dari kertas) yang dilakukan masyarakat turunan Tionghoa di Bagansiapiapi adalah upacara pemujaan terhadap dewa laut atau dewa Kie Ong Ya yang menguasai lautan, upacara ini disebut dengan Go Ge Cap Lak yang berarti tanggal 15,16 bulan 5 penanggalan Imlek," jelasnya.
Bupati Rohil, H Annas Maamun berserta rombongan melambaikan tangan kepada warga Tionghoa dan para turis di atas replika Tongkang sebelum dibakar. (rep/01)
Ritual Bakar Tongkang tidak hanya dihadiri ribuan warga turunan Tionghoa dari dalam dan luar negeri, juga dihadiri Bupati Kabupaten Rokan Hilir H Annas Maamun dan ketua DPRD Rohil Nasrudin Hasan, wabup H Suyatno, Setdakab Rohil Drs Wan Amir Firdaus Msi, ketua PKK Rohil Hj Latifah Hanum Annas, Polres Rohil, Kejaksaan Negeri Rohil, dan kepala dinas, badan dan kantor di lingkungan Pemdakab Rokan Hilir. Prosesi bakar tongkang dilakukan di tempat pembakaran di jalan perniagaan Bagansiapiapi.
Sementara itu, Bupati Rokan Hilir H Annas Maamun mengungkapkan, bahwa pada umumnya masyarakat tionghoa maupun pribumi di Bagansiapiapi bekeja sebagai menangkap ikan di laut dalam arti sebagai nelayan. namun sebahagian besar juga sebagai petani sawit dan padi. dulunya Bagansiapiapi di kenal dengan banyak ikan bahkan nomr dua di dunia, namun karena banyaknya penangkapan ilegal maka ikan-ikan saat ini sudah sedikit.
"Pada umumnya dalam setahun ada empat kali masyarakat warga tionghoa datang ke Bagansiapiapi. Hal ini karena mengikuti acara budaya seperti cap go meh, ceng beng, imlek dan acara ritual bakar tongkang. dengan kegiatan ini sangat bagus karena dengan kehadiran masyarakat warga tionghoa di perantauan selain melakukan sembahyang juga dapat mendatangkan hasil bagi msyarakat Bagansiapiapi. Karena dengan kedatangan mereka dapat menambah perekonomian warga Bagansiapiapi," terang Annas.
Replika kapal Tongkang di arak keliling kota Bagansiapiapi sebelum dibawa ke tempat pembakatran pada acara puncak ritual bakar tongkang di Bagansiapiapi. (rep01)
Tanda Kehidupan Pluralis
Sebagai negara dengan masyarakatnya yang pluralisme (mejemuk) tentu keragaman budaya dan agama di Indonesia menjadi acuan untuk mempersatukan bangsa. Salah satunya yakni tradisi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi yang pada hari ini, Senin (24/6/2013) di Kelenteng Ing Hok Kiong dengan suka cita merayakan Go Gwee Cap Lak, sebuah agenda turun temurun berupa prosesi Ritual Bakar Tongkang.
Agenda ritual ini sudah dilaksanakan sejak dahulu kala dimana masyarakat Tionghoa mempercayainya sejak tahun 1825 Masehi, saat berdirinya Kelenteng Ing Hok Kiong di Bagansiapiapi. Namun, baru beberapa tahun belakangan ini semenjak terputusnya era orde baru, 1998 hingga hingga belakangan ini ritual bakar tongkang digelar secara meriah hingga mengundang perhatian wisatawan baik, lokal hingga mancanegara. Tak pelak, setiap tahunnya jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu orang berjubel menjadi satu di 'kota ikan' itu. Menariknya lagi, prosesi ritual bakar tongkang ini telah menjadi agenda pariwisata nasional hingga internasional.
Jelang puncak perayaan Bakar Tongkang, Seluruh warga Tionghoa menggelar upacara Sembahyang Ki Hu Ong Ya atau Dewa Laut di Kelenteng Ing Hok King, Bagansiapiapi. (rep/01)
Sehari sebelum prosesi acara puncak bakar tongkang, seluruh masyarakat Tionghoa terlebih dahulu menggelar Sembahyang kepada Dewa Ki Hu Ong Ya yang lebih dikenal Dewa Laut. Disaat itulah seluruh marga Tionghoa tumpah ruah di Kelenteng Ing Hok Kiong menggelar sembahyang dengan membakar Hio kecil hingga berukuran raksasa ditambah nyala lilin dan pembakaran kertas berwarna kuning atau yang biasa disebut kertas sembahyang. Kota ikan itupun seakan sesak oleh tebalnya asap hasil pembakaran hio (dupa) sembahyang.
Tradisi dan kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagan Siapiapi, Kabupaten Rokan Hilir harus terus dipertahankan keeksisannya hingga sepanjang masa di setiap upacara prosesi ritual bakar tongkang dan hanya dilakukan pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go Gwee Cap Lak tersebut.
"Ritual ini sendiri merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Tak ada yang berbeda setiap ritual ini digelar setiap tahunnya. Tentunya, keistimewaan perayaan Go Gwee Cap Lak ada pada ritual bakar tongkang yang tiddak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong, tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya yang lebih dikenal dengan Dewa keselamatan dan kesejahteraan bagi warga Indonesia Tionghoa di Bagan Siapiapi," jelas Tokoh Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, Oliong kepada www.rohilonline.com mengawali perbincangan.
Bupati Rokan Hilir H Annas Maamun bersama para turis dan tokoh Tionghoa Bagansiapiapi mengunjungi Museum Tionghoa yang kerab dibanjiri pengunjung. (rep/01)
Lebih jauh dijelaskannya, ritual bakar tongkang ini sendiri dipercaya bagian momentum perayaan ulang tahun Dewa Ki Hu Ong Ya yang juga dipercaya sebagai sarana yang berkaitan kearah kepercayaan pencarian rezeki. "Dengan berkat dan memperingati Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun, masyarakat yakin bakal mendapat pencerahan keselamatan dan kesejahteraan. Untuk itulah para pesembahyang tak jarang datang dari berbagai negara tetangga yang didominasi oleh para perantauan asal Bagansiapiapi. Selain itu, ritual bakar tongkang juga seakan tak terpisahkan dari perjalanan dan pembangunan Kota Bagan Siapiapi," jelasnya menambahkan.
Dikisahkannya lagi, konon awal mulanya Bagansiapiapi menjadi sebuah daerah hutan belantara sebagai tempat persinggahan awal Kapal Tongkang yang dipercaya kelompok marga Ang membawa patung Dewa Ki Hu Ong Ya dan Dewa Tai Sun dipercaya telah menyelamatkan kelompok Marga Ang itu sendiri dan tiba ditepi Sungai Rokan. "Setalah mereka berada di tepi sungai Rokan mendapat petunjuk Dewa tersebut berupa cahaya api dari daratan yang mengiring Kapal Tongkang menyusuri sekitar Pulau Kuala Kubu, Teluk Mengkudu (sekarang Panipahan) sampai kemudian dilakukan pendaratan tepat di belakang Pulau Barkey. Saat itulah di jadikan tempat pemukiman baru yang berdasarkan catatan sejarah pemukiman warga Tionghoa pada Pulau kunang-kunang api kemudian diberi nama dan dikenal dengan sebutan Bagan Siapiapi," urainya mengisahkan awal mula Bagansiapiapi.
Hio raksasa kerab membanjiri puncak perayaan ritual bakar tongkang setiap tahunnya di Bagansiapiapi yang di datangkan dari berbagai negara luar. (rep/01)
Di pulau penuh kunang-kunang api saat itu, mereka hidup dan terus menetap di Bagan yang letaknya di muara sungai Rokan sampai akhirnya mendirikan Kelenteng yang diberi nama Ing Hok Kiong sebagai Induk Kelenteng terbesar di Kota Bagansiapiapi yang menjadi pusat tradisi kepercayaan dan keagamaan umat Kong Hu Cu. "Kelenteng Ing Hok Kiong diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 1826 masehi. Lihat saja ciri khas bangunannya berarsitektur Tionghoa kuno dengan atap ukiran berbentuk naga," paparnya. (rep/01)