ISLAMI - DI beberapa kitab para ulama memang ada anjuran untuk tidak memotong rambut dan kuku ketika haid atau junub, seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya. Sehingga hal ini menjadi keyakinan sebagian kaum muslimin.
Sebenarnya, hal ini tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma. Baik secara global dan terpeinci, langsung dan tidak langsung, tersurat dan tersirat. Oleh karena itu pada dasarnya tidak apa-apa, tidak masalah memotong rambut dan kuku baik yang haid dan junub.
Hal ini merupakan baraatul ashliyah, kembali kepada hukum asal, bahwa segala hal boleh-boleh saja selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya dari pembuat syariat. Rasulullah bersabda:
"Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitab-Nya, dan apa saja yang di diamkan-Nya, maka itu termasuk yang dimaafkan." (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mujam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi Anhu, No. 1)
Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, penampilan, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara yang menerangkan larangan tersebut.
Oleh karena itu, Imam Muhammad At-Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:
"Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan." (Imam Muhammad At Tamimi, Arbau Qawaid Taduru al Ahkam Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
"Dia Subhanahu wa Taala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dari-Nya, bukan karena lupa dan membiarkannya." (Ilamul Muwaqiin, 1/344-345)
Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Tertulis dalam Majmu Al Fatawa-nya:
Ditanyakan:
Tentang seorang laki-laki yang junub dia memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir kepalanya apakah dia terkena suatu hukum? Sebagian orang telah mengisyaratkan hal demikian dan mengatakan: "Jika seorang junub memotong rambut atau kukunya maka pada hari akhirat nanti bagian-bagian yang dipotong itu akan kembali kepadanya dan akan menuntutnya untuk dimandikan, apakah memang demikian?"
Jawaban:
Telah shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Hudzaifah dan Abu Hurairah Radhiallahu Anhuma, yaitu ketika ditanyakan kepadanya tentang status orang junub, maka Beliau bersabda: "Seorang mumin itu tidak najis." Dalam riwayat yang Shahih dari Al Hakim: "Baik keadaan hidup dan matinya"
Saya tidak dapatkan dalil syari yang memakruhkan memotong rambut dan kuku bagi orang yang junub. Justru Nabi Rasulullah memerintahkan orang yang masuk Islam, "Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah." Beliau juga memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi.
Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi. Begitu pula diperintahkannya (oleh Nabi) kepada wanita haid untuk menyisir rambutnya padahal menyisir rambut akan merontokan sebagian rambutnya. Wallahu Alam." (Majmu Al Fatawa, 21/121)
Wallahu A'lam. [Ust. Farid Nu'man Hasan]
disusun ulang :rohilonline.com