Hukum

Ingin Hindari Sanksi Pajak? Ini Dia Rahasianya

Dalam ketentuan perpajakan, dikenal dua macam sanksi pajak: sanksi administrasi dan sanksi pidana. Perbedaan dari kedua sanksi tersebut adalah bahwa sanksi pidana berakibat pada hukuman badan seperti penjara atau kurungan. Pengenaan sanksi pidana dikenakan terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Sedangkan sanksi administrasi biasanya berupa denda (dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebut sebagai bunga, denda atau kenaikan), dengan besaran bervariasi mulai dari 2%, 48%, 50%, 100%, 150%, hingga 200% dari kekurangan pembayaran pajak atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Khusus untuk keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), dikenakan denda per SPT yang terlambat dilaporkan. Denda sebesar Rp. 100 ribu, dikenakan pada keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi serta SPT Masa untuk pajak-pajak selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan sanksi denda lebih tinggi dikenakan pada keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN, yakni sebesar Rp. 500 ribu. Sanksi paling tinggi sebesar Rp. 1 juta, dikenakan pada keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan.

Bagaimana cara menghindar dari sanksi denda di atas? Sederhana saja: sampaikan SPT tepat waktu, yakni sebelum batas waktunya berakhir. Perpanjangan batas waktu diperbolehkan untuk SPT Tahunan saja, itupun maksimal selama 2 (dua) bulan dengan pemberitahuan sebelumnya secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

Batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah tanggal 31 Maret untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, serta tanggal 30 April untuk SPT Tahunan PPh Badan. Sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa adalah 20 hari setelah akhir Masa Pajak, kecuali untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang disampaikan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

Pengenaan sanksi denda pada kekurangan pembayaran pajak dan DPP merupakan sanksi yang cukup berat. Untuk besaran denda 2% biasanya dikenakan per bulan keterlambatan dikalikan kekurangan pembayaran pajak atau DPP (2% x 6 bulan x kekurangan pembayaran pajak).

Besaran lebih tinggi, 48%, 50%, 100%, 150% hingga 200% dikenakan langsung pada kekurangan pembayaran pajak atau DPP (48% x kekurangan pembayaran pajak). Selain itu, pengenaan sanksi ini dapat digabungkan dengan sanksi pidana menjadi sanksi kumulatif (pidana + administrasi).

Lalu bagaimana caranya terhindar dari sanksi administrasi yang tidak tetap ini? Karena kemungkinannya cukup banyak, Wajib Pajak perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

1.Isilah SPT dengan benar dan jujur, karena kesalahan dalam pengisian SPT yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak maupun pembetulan SPT dapat mengakibatkan denda 2% per bulan hingga 200% atas kekurangan pembayaran pajak atau DPP.

2. Cermatlah dalam memotong atau memungut pajak, karena ketidakcermatan berujung pada denda 50% hingga 100% dari kekurangan pemotongan atau pemungutan pajak.

3. Isilah faktur pajak dengan lengkap, karena ketidakcermatan dalam pengisian data faktur pajak berujung pada denda 2% per bulan dari DPP.

4. Hindari aktivitas tindak pidana perpajakan, karena jika terbukti bersalah di pengadilan berakibat pada denda hingga 4 (empat) kali kekurangan pembayaran pajak. Bahkan jika proses tersebut dihentikan penyidikannya, Wajib Pajak dikenai denda hingga 200% dari kekurangan pembayaran pajak.

Terkait dengan sengketa pajak, Direktorat Jenderal Pajak memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan keberatan, banding, bahkan peninjauan kembali. Namun demikian, ada resiko pengenaan sanksi denda 50% dari kekurangan pajak disetiap tahap penyelesaianya.

Sanksi administrasi tersebut dikenakan apabila kasus sengketa pajaknya ditolak atau dikabulkan sebagian. Tujuan pengenaan sanksi administrasi 50% adalah agar yang bersangkutan mempertimbangkan pilihan yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa pajak.

Selanjutnya, sebagaimana sistem administrasi perpajakan di Negara lain, sanksi administrasi bukan merupakan sarana menghimpun penerimaan Negara, namun lebih pada edukasi Wajib Pajak. Hal ini tercermin dari dimungkinkannya permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak, yang mana dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima harus memberikan keputusan.

Apabila jangka waktu tersebut terlewati, dan keputusan belum diberikan, maka permohonan dianggap dikabulkan. Direktorat Jenderal Pajak juga berharap kepatuhan Wajib Pajak meningkat dari masa ke masa, sehingga jumlah sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak menurun atau bahkan dihilangkan sama sekali. Namun alangkah baiknya jika kita memiliki kesadaran untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan semua kewajiban perpajakan kita dengan tepat waktu, benar, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (rep02)