Sosialita

Inspirasi Minggu Ini: Hati-Hati Kalau Curhat di Media Sosial

Penggila media sosial alias medsos dapat pelajaran besar belum lama ini. Akibat memasang status yang menghina daerah tertentu saat sedang kesal, seorang mahasiswa S-2 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Florence Sihombing, harus berurusan dengan polisi. 
 
Sebenarnya, kata mahasiswa S-2 Universitas Mercubuana (UMB), Rieke Pernamasari, tidak ada yang melarang seseorang marah-marah di medsos. Lagi pula, kata Rieke, tidak ada peraturan hukum yang melarang seseorang melakukan hal tersebut. 
 
"Kalau enggak suka, kita remove aja," ujar Rieke, dalam Blackberry Messenger (BBM) kepada Okezone, baru-baru ini. 
 
Cewek yang sebentar lagi lulus sebagai Master Akuntansi itu menilai, marah-marah di medsos masih bisa dimaklumi selama seseorang tidak menunjuk pihak yang bersangkutan. Dia mencontohkan, seseorang meluapkan ekspresi kekesalan akibat kemacetan Ibu Kota dengan status, "Gila ya orang Jakarta tiap hari beli mobil, bikin jalanan macet. Gw kan jadi telat!" 
 
"Nah, kalau kasus Florence itu gw rasa cuma ulah provokator aja. Buktinya kan sekarang jadi merembet ke mana-mana, bahkan sampai bawa-bawa kesukuan," imbuhnya. 
 
Urusan suku bangsa memang masih sangat sensitif meski di tengah kemajemukan Indonesia. Mahasiswa S-2 Institut Teknologi Bandung (ITB) Sandi Jaya Saputra menganggap, tata krama medsos yang masih abu-abu membuat tindakan marah-marah di dunia maya masih tidak apa-apa. 
 
"Tapi kasus ini mencuat karena menyangkut kedekatan sebagai negara yang mengusung sukuisme. Dan chauvinisme (rasa cinta suku bangsa berlebihan hingga merendahkan suku bangsa lain- red) adalah isu yang sensitif di Indonesia," tutur Sandi. 
 
Sebenarnya, kata pria yang akrab disapa Usenk itu, saat pemilihan presiden lalu justru lini masa lebih ramai. Para pengguna medsos pun lebih parah dalam mengekspresikan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. 
 
Masalahnya, medsos hari ini dimaknai sebagai ruang ketiga, ruang yang diyakini sebagai ruang baru dalam tatanan sosial. "Berinteraksi di medsos seakan cafe dan lainnya yang 'tampak' nyata; bukan lagi sebagi jejaring sosial. Buat gue sih, ini bukan soal kecerdasan. Pejabat pun kalau lagi ngambek enggak jauh beda, pakai kata tolol dan lainnya," imbuh cowok yang belajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ini. 
 
Sementara itu, alumnus Institut Teknologi Surabaya (ITS) Tika Widyaningtyas menyayangkan reaksi pihak-pihak yang memperkarakan insiden ini ke kepolisian. Menurutnya, itu berlebihan. 
 
"Karena tanpa begitu pun, dia sudah dapat sanksi sosial yang seharusnya membuat jera," ujar Tika. 
 
Gadis berkerudung yang juga gemar dan aktif memakai medsos ini menyebut, pengguna medsos bukan hanya Florence. Namun, kebetulan saja dia sedang nahas karena status Path-nya disebar banyak orang melalui medsos juga. Bahkan, insiden ini menjadi besar karena diberitakan media massa. 
 
"Ini hanya satu kasus dari sekian banyak orang aja. Mungkin dia belum merasakan efek sosial media. Dan kita suka lupa medsos bukan sekadar ruang kosong atau corong. Tapi begitu mengumumkan sesuatu ke khalayak ramai, kita enggak tahu siapa saja yang akan baca status itu. Sayangnya, sesuatu sudah kita publish enggak akan bisa kita tarik lagi. Dihapus bisa saja, tapi jejaknya tetap ada,"  papar Tika.(rep05)