Sosialita

Pilih BPJS atau Asuransi Kesehatan?

Jakarta - Tanpa asuransi atau jaminan sosial, penyakit berat dengan mudah menjadikan kita jatuh miskin dalam waktu singkat. Betapa tidak, penderita penyakit jantung harus menyiapkan uang antara Rp 75 juta hingga Rp. 300 juta demi mengobati penyakitnya. Penyakit stroke membutuhkan dana pengobatan sebesar Rp.250 juta rupiah.
 
"Penyakit kanker membutuhkan dana antara Rp. 50 juta sampai Rp. 150 juta," kata Presiden Direktur MSIG Life Johnson Chai.
 
Sama dengan biaya pendidikan anak, biaya pengobatan juga digerogoti inflasi. "Besarnya inflasi biaya kesehatan itu antara 10 sampai 15 persen. Harga rawat inap di Jakarta Selatan berkisar Rp. 1,1 juta sampai Rp. 2,5 juta untuk ruangan VIP," kata Helmi Handoko dari MSIG Life.
 
Kepeningan gara-gara biaya pengobatan yang terus meningkat itu seharusnya dapat diatasi dengan asuransi kesehatan. Sayangnya, masyarakat Indonesia termasuk kurang siap menghadapi risiko jatuh sakit. "Sekitar 81 persen orang Indonesia tak siap dengan kesehatan dan kematian. Kira-kira 85 persen pasien jadi bangkrut gara-gara penyakit kanker," ujar Helmi.
 
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi penyelamat ketika rakyat Indonesia terkena penyakit berat. Jaminan sosial ini memberikan manfaat dasar dan menyeluruh. Dengan jaminan sosial ini, seorang pasien penyakit berat bisa mengobati penyakitnya sampai sembuh di rumah sakit pemerintah tanpa harus cemas menyiapkan dana besar untuk pengobatan.
 
"Adik saya pernah mendapatkan pelayanan BPJS di rumah sakit pemerintah saat sakit. Pelayanannya tidak gratis tapi murah. Pelayanannya oke sih standar rumah sakit pemerintah," kata Rio Quiserto, seorang perencana keuangan. Hal yang bikin sedikit tak nyaman, peminat BPJS lumayan banyak. "Antrenya panjang sekali," imbuhnya.
 
Bila ingin pelayanan yang lebih nyaman dan tidak antre, asuransi kesehatan bisa jadi pilihan. "Dengan asuransi kesehatan pasien bisa berobat ke rumah sakit mana pun dan tidak perlu antre serta tak perlu pakai rujukan," ujar Rio.
 
Belakangan ini cukup banyak asuransi kesehatan yang dikombinasikan dengan produk investasi. "Sebenarnya, investasi model begini berbiaya besar. Tahun pertama uang diambil perusahaan  semua, tidak ada yang diinvestasikan. Padahal investasi kan makin cepat dilakukan makin baik hasilnya," cetusnya. Namun ia memahami tidak sedikit masyarakat yang tertarik mengambil investasi model unit link ini karena tidak banyak orang yang melek finansial. "Tak mudah juga memahami investasi," katanya.
 
Dengan asuransi kesehatan, kita tak perlu pusing dengan biaya rawat inap, perawatan di ruang ICU, biaya kunjungan dokter dan lain-lain. "Mengenai perlindungan penyakit kritis, kita perlu tahu bahwa ini bukan asuransi kesehatan. Penyakit kritis ini baru membayar pasien setelah pasien sakit sampai tahap kritis. Misalnya terkena kanker stadium empat. Perusahaan asuransi baru membayar pasien sebagai ganti karena tidak bisa bekerja gara-gara terkena penyakit kritis," ujar Rio. (rep05)