Sosialita

Film Godzilla: Obat Luka Idola Raja Para Monster

Jakarta - Ketika Godzilla untuk pertama kalinya diproduksi Hollywood pada 1998 lewat tangan sutradara Roland Emmerich, sebuah luka membekas di hati para penggemar makhluk yang disebut sebagai raja para monster itu. Luka itu berupa rasa sakit dan kecewa melihat makhluk ciptaan Tomoyuki Tanaka tersebut diposisikan sebagai musuh bersama.
 
Di Jepang, Godzilla digambarkan sebagai sosok pahlawan, terkadang anti-hero. Ia adalah agen seleksi alam, memastikan keseimbangan tetap tercipta di dunia. Namun, apa yang terjadi pada 1998, ia justru digambarkan sebagai makhluk hasil radiasi uji coba nuklir yang kemudian mencoba meluluhlantakkan New York untuk beranak pinak.
 
Pada 2010, Legendary Pictures yang terkenal dengan film-film superhero macam The Dark Knight Rises dan Man of Steel itu mencoba mengobati luka tersebut. Mereka membuat ulang film Godzilla, kali ini dengan janji film itu akan setia dengan versi Jepang. Film Godzilla yang kali ini tengah tayang di bioskop adalah pemenuhan janji tersebut.
 
Film Godzilla (2014), yang disutradarai sutradara muda Gareth Edwards, terbukti berhasil mengembalikan sentuhan klasik Godzilla yang hilang pada versi 1998. Dalam film ini, makhluk setinggi 100 meter tersebut benar-benar digambarkan sebagai agen pencipta keseimbangan alam, bukan sebagai musuh. Musuh utama dalam film Godzilla ini adalah MUTO, sebuah makhluk menyerupai kelelawar yang gemar menyantap manusia dan rudal-rudal nuklir. 
 
Pertarungan antara Godzilla, yang mencoba melindungi manusia dengan caranya sendiri, versus MUTO digambarkan dengan benar-benar apik. Keduanya adu ganas dan kecerdasan, memanfaatkan sela dan ketinggian gedung pancakar langit untuk menyerang secara tiba-tiba. Bagaimana pertarungan keduanya ditampilkan lewat paduan angle close up dan long shot juga membuat pertarungan tersebut terasa megah dan dekat.
 
Sayang, kelebihan film ini hanya pada pertarungan antar monster tersebut. Dari sisi cerita, film ini serba lamban, tanggung dan kebingungan dalam menentukan fokus. Walhasil, film ini hanya terasa nyaman dan menyenangkan ditonton ketika Godzilla dan MUTO muncul di layar.
 
Rasa tanggung dan tidak fokus itu muncul dari sisi cerita tokoh-tokoh manusianya. Tokoh utama dalam film ini, misalnya, Ford Brody (Taylor Johnson), dikisahkan hanya punya motivasi pulang segera ke tempat anak dan istrinya, Elle (Elizabeth Olsen), di San Fransisco yang menjadi lokasi pertarungan Godzilla dan MUTO. Di luar itu, ia tak punya motif lainnya sehingga karakter Ford terkesan datar, tak punya ikatan kuat dengan baik Godzilla maupun MUTO.
 
Tokoh Ford bukan satu-satunya yang membuat sisi cerita tokoh manusianya terasa lemah. Tokoh Joseph Brody (Bryan Cranston), ayah dari Ford, juga digambarkan serba tanggung. Motivasi besarnya untuk menyelidiki asal-usul Godzilla maupun MUTO tidak dieksekussi dengan baik dan malah diakhiri dengan paksa pada seperempat awal film saja. Sekali lagi, tanggung, 
 
Gawatnya, sejak film dimulai, Gareth sudah menentukan fokus film ini akan ada pada sisi tokoh manusianya, bukan pada Godzilla sebagai agen keseimbangan alam. Walhasil, ketika tokoh-tokoh manusianya tidak digambarkan dengan baik, filmnya pun menjadi membosankan. Seandainya saja Gareth memilih fokus pada kisah Godzilla sejak awal film, dengan tokoh manusia sebagai pendukungnya, film ini akan terasa lebih bagus. (rep05)