Sosialita

Memahami Fenomena Caleg Gila di Pemilu 2009

Jakarta-Ibarat suatu pertandingan olahraga, pemilihan umum menghasilkan kalah dan menang. Pemenang bisa melenggang ke panggung kekuasaan, baik sebagai anggota DPR maupun presiden. Bagi yang kalah, masih ada lima tahun lagi untuk memperkuat kembali amunisi. 
 
Namun, dalam pemilu, muncul pula para pecundang yang tidak siap menerima kekalahan. Baik harta, waktu, dan tenaga yang sudah dicurahkan untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) tidak bisa kembali. Akhirnya hilang pula akal sehat. Mengidap stres sesaat mungkin hanya sindrom yang ringan, tapi jadi gila betulan sulit disembuhkan. 
 
Inilah yang menimpa sejumlah para caleg gagal pada Pemilu 2009. Dan para pakar sudah wanti-wanti gejala serupa bisa menimpa para caleg yang tidak siap mental menerima kekalahan pada Pemilu legislatif 2014, terutama yang modal pas-pasan apalagi harus sampai berutang.  
 
Pemandangan itulah yang nampak di suatu tempat penghitungan suara (TPS) di kawasan perumahan elit Alam Sutera, Kunciran, Tangerang. Sekitar pukul 5 sore 9 April 2009, penghitungan suara tengah berlangsung. Para warga setempat asyik mengikuti proses perhitungan. 
 
Namun, gegap-gempita itu mendadak terusik oleh perilaku ganjil seorang pria. Dia mendadak marah-marah tak jelas dan terlihat frustasi berat. Dia merangkak di pinggir jalan dengan membawa-bawa cangkir sambil meminta-minta uang kepada orang yang berlalu lalang, sembari berujar, ”kembalikan uang saya!” Belakangan dia adalah seorang caleg yang kalah, stres berat. Namanya tidak perlu disebut, begitu pula partai yang mendukungnya.  
 
Masyarakat yang menyaksikan ulah aneh itu tidak ada yang berani mendekat dan hanya melihat dari jarak kejauhan saja. Bahkan sesekali dia melempari warga dengan cangkir sambil marah-marah.
 
Mengetahui hal itu, keluarga langsung membawanya pulang dan meminta maaf kepada warga karena telah terganggu ketenangannya. Hingga beberapa hari usai pemilu pria itu masih berperilaku ganjil. 
 
Caleg ini mengalami stres yang berlebihan, hingga mengalami depresi. Sebab tingkah lakunya sudah seperti orang gila, dengan rambut yang masih klimis, dan hanya mengenakan celana pendek, bahkan menjadi bahan ejek anak-anak.
 
Kisah lain menimpa seorang caleg perempuan di Purbalingga, Jawa Tengah. Perempuan yang kala itu berumur 33 tahun  ini merasa kampanye masih berlangsung hingga beberapa hari usai pemungutan dan penghitungan suara. Selama lima hari, dia terus-menerus berpidato.
 
Keluarganya mulai menangkap gelagat aneh. Mereka lalu membawa calon legislatif (caleg) gagal ini ke Panti Rehabilitasi Mental dan Jiwa H Supono Mustajab di Desa Bungkanel, Kecamatan Karangayar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. 
 
Tak lama dirawat, wanita itu sudah tenang. Namun, pada hari-hari pertama perawatan, wanita yang tengah hamil empat bulan ini merasa masih dalam suasana pemilu. Tak jarang dia naik meja dan melakukan orasi politik.
 
Dia  mengaku sudah menghabiskan uang Rp100 juta. Tapi dia tak terpilih sebagai caleg. Namun saat ditanya apa partainya, dia mengaku, “tidak ingat.”
 
Dua kisah ini diangkat bukan untuk bahan olok-olokan. Akan tetapi, sebagai fenomena yang pantas diantisipasi. Sejumlah rumah sakit di berbagai daerah pun telah berbenah menghadapi kemungkinan buruk itu terjadi.
 
Menurut seorang pegawai rumah sakit jiwa di Grogol, Jakarta, setidaknya ada enam caleg gagal yang dibawa ke situ. Mereka dari berbagai latar belakang partai. ”Mereka dirawat di ruang VIP diantarkan oleh keluarganya. Di antara mereka tampak pandangannya kosong,” katanya kepada VIVAnews, Rabu 2 April 2014.
 
Udin adalah seorang petugas kebersihan yang sudah bekerja di RS itu sejak 7 tahun silam. Dia menjadi saksi bagaimana para caleg stres yang dirawat di RS Grogol itu pasca pemilu 2009. 
 
”Rata-rata mereka ekspresinya ngomong sendiri. Ada juga yang diam, seperti orang kecemasan, takut. Sorot matanya kosong,” kata Udin. 
 
Direktur medik & keperawatan RSJ Soeharto Heerdjan-Grogol, dr Mohammad Rizasyah Hasan, SpKJ, ketika dikonfirmasi VIVAnews, ihwal penanganan caleg gagal pemilu tak mau membuka identitas para pasiennya. Menurutnya, standar penanganan pasien yang masuk ke rumah sakit tidak ditanya apakah caleg atau bukan, karena caleg bukan pekerjaan. Pasien yang datang ditanya nama, jenis kelamin, dan  pekerjaan. 
 
”Nah, kalau ada ditemukan setelah wawancara, itu rahasia dari dokter dan pasien. Nah itu dia kita yang tidak bisa, kan,” katanya.
 
Fenomena caleg stress setelah kalah di pemilu 2009 juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Kepala Ruangan Puri Anggek RSJ Menur, Abdul Habib, kepada VIVAnews, mengungkapkan sejumlah caleg gagal di Pemilu 2009 yang mengalami gangguan jiwa masih ada yang rutin menjalani pemeriksaan sampai saat ini.
 
Namun, Habib menolak menjelaskan identitas mereka. ”Wah, jangan kalau soal identitas itu, pokoknya ada lah,” katanya. Mereka yang masih menjalani perawatan itu untuk pemeriksaan lanjutan. Keluhannya, ”stres lah. Semua yang berhubungan dengan jiwa, namanya ya gangguan jiwa.”
 
Fenomena Wajar
 
Fenomena caleg stres di Palembang, Sumatera Selatan, juga terjadi. RSJ Erdinaldi Bahar yang berlokasi di kota itu juga telah berbenah. Mereka menyiapkan ruang khusus guna antisipasi naiknya permintaan pasca pemilu.
 
”Pada 2009 lalu ada satu Caleg dari salah satu partai yang berobat di RSJ Ernaldi Bahar, namun hanya sebatas konseling," kata Wakil Direktur RSJ Ernaldi Bahar Sumsel, Rusdi Kawilarang.
 
RSJ Ernaldi Bahar menyediakan kelas VIP 4 kamar dengan 10 tempat tidur. Ruang itu diperuntukkan buat caleg gagal bila terpaksa harus menjalani perawatan.
 
"Caleg itu orang yang  berpendidikan, pasti milih kelas VIP," ujarnya. Pria yang menjabat sebagai wakil direktur sejak September 2011 ini mengatakan wajar jika para caleg terkena depresi ataupun stres. Pasalnya, caleg yang bersangkutan rata-rata sudah jor-joran mengeluarkan materi untuk dapat lolos ke kursi parlemen.
 
"Wajar kalau depresi, karena mereka maunya menang saja enggan kalah ketika mencalonkan, harusnya mereka siap menang dan siap kalah, sehingga kuat mentalnya," kata dia.
 
Psikiater dr. Suryo Dharmono, menilai bahwa para caleg yang mengalami gangguan jiwa bisa jadi terkena skizofrenia. Sering dianggap sepele, penyakit kelainan mental di Indonesia semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2010, lebih dari satu juta orang Indonesia menderita skizofrenia.
 
Itu merupakan kelainan mental yang ditandai gangguan proses berpikir, seperti halusinasi dan delusi. Penderitanya bisa mengalami kelainan mental signifikan sepanjang hidup. Sebab umumnya: tak kuat menahan tekanan mental.
 
Ironisnya, masyarakat sering tak menyadari gejala skizofrenia. Pengobatan yang efektif dan efisien pun kurang menyentuh. Padahal tanpa pengobatan tepat, skizofrenia dapat menimbulkan berbagai dampak seperti buruk.
 
Penyakit mental itu juga bukan tidak mungkin datang kembali. Jika kambuh, butuh waktu lama memulihkannya. “Perlu waktu pemulihan 2 hingga 5 tahun. Bahkan, bila kambuh berkali-kali, harus dilakukan pengobatan seumur hidup,” kata Suryo. (rep05)