Hukum

Pasca Dibantai, Etnis Muslim Rohingya Tak Diakui Myanmar

Rohingya-Setelah mengalami pembantaian massal, kini etnis minoritas Muslim Rohingya tidak diakui dan pemerintah menerbitkan dekrit yang mewajibkan warga dari etnis ini untuk mendaftar sebagai ”Bengali”. Hal itu setelah pemerintah menyebar puluhan ribu petugas sensus penduduk ke seluruh Myanmar, Minggu (30/3). Mereka bertugas hingga 10 April untuk bisa menjangkau 12 juta keluarga.
 
Para pendata terdiri dari kelompok guru-guru sekolah dan petugas daerah. Mereka disebar untuk melakukan sensus penduduk selama 12 hari. Ini adalah sensus pertama sejak tahun 1983 atau 31 tahun silam. Petugas akan datang dari pintu ke pintu untuk memastikan jumlah jiwa di setiap rumah tangga Myanmar.
 
Namun, sensus ini menjadi persoalan baru di Myanmar. Terutama saat para petugas sensus terjun ke desa-desa di Negara Bagian Rakhine, yang selama ini menjadi pusat konflik komunal antara etnis minoritas Rohingya dan etnis lokal yang mayoritas.
 
Myanmar telah mengeluarkan dekrit yang menegaskan setiap warga minoritas di Rakhine tidak boleh mendaftarkan etnisitasnya sebagai Rohingya. Perlakuan ini untuk meredam kemarahan kaum mayoritas di Rakhine yang khawatir bahwa setiap pengakuan resmi bagi minoritas ”tanpa negara” berarti juga akan mengarah kepada pengakuan hak-hak politik dari kaum minoritas ini.
 
Etnis ilegal
 
Kaum nasionalis mayoritas telah berpawai di jalan-jalan di Sittwe pada Minggu. Mereka menyatakan dengan keras melalui pelantang suara bahwa rencana boikot terhadap sensus penduduk itu telah dibatalkan setelah mereka menerima jaminan tertulis dari pemerintah bahwa sebutan Rohingya itu ”ilegal”.
 
Reaksi berbeda datang dari kaum minoritas yang berada di tenda-tenda penampungan di luar Sittwe. Para korban konflik komunal dalam dua gelombang kekerasan berdarah pada 2012 itu menolak dekrit pemerintah yang mewajibkan mereka terdaftar sebagai Bengali.
 
Sebutan Bengali digunakan otoritas Myanmar bagi imigran ilegal yang masuk dari negara tetangga Banglades. ”Saya lahir di sini. Orangtua saya juga lahir di sini. Saya terlahir sebagai bangsa Myanmar. Bagi saya, saya takkan mau mendaftar sebagai Bengali. Saya akan mendaftar sebagai Rohingya,” kata Hla Myint (58).
 
Warga asing yang bekerja sebagai sukarelawan di Rakhine telah melarikan diri setelah massa mayoritas menyerang kantor-kantor mereka. Penyerangan itu terkait dengan tugas sukarelawan membantu komunitas pengungsi Rohingya di sekitar Sittwe. Ketegangan pun meningkat pada saat pelaksanaan sensus kali ini.
 
Pada saat ketegangan meningkat saat ini, Kedutaan Besar Inggris di Yangon mengeluarkan buah pernyataan keprihatinan. Dikatakan, opsi pada formulir sensus yang akan diisi oleh responden ”untuk mengidentifikasikan diri, tidak tersedia”.
 
”Sangat penting bahwa pemerintah menciptakan kondisi untuk memungkinkan semua orang bisa berpartisipasi dalam sensus nasional ini secara adil dan bebas dari intimidasi,” tambah pernyataan dari Kedubes Inggris itu.
 
Sensus didukung Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA) ini dilakukan oleh Kementerian Imigrasi dan Kependudukan Myanmar. Ada puluhan pertanyaan akan diajukan kepada responden yang dikunjungi. (rep05/rmn)