Sosialita

Tradisi Sembahyang Pai Thi Kong

ilustrasi/net

SECARA umum, warga Tionghoa biasa menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai Thian Kong (Tian Gong) atau Thi Kong. Untuk memanjakan syukur atas limpahan Thi Kong, maka warga Tionghoa memiliki cara sendiri dalam menjalankan ritual sembahyang.

Tradisi sembahyang Pai Thi Kong ini sudah dilakukan secara turun temurun hingga sekarang, itulah sebabnya setiap tahunnya pada tanggal 9 bulan 1 Imlek, yang tahun ini jatuh pada tanggal 8 Februari 2014. Warga Tionghoa, terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang Pai Thi Kong yang  berarti sembahyang kepada Tuhan dan disebut juga perayaan Tahun Baru orang Hokkian dan ada juga menyebut sembahyang Tebu.

Upacara sembahyang Pai Thi Kong ini telah meluas dan bisa dilakukan mulai dari kalangan atas sampai ke golongan masyarakat yang paling bawah atau orang-orang miskin sekalipun, seperti petani, pedagang dan lain-lain. Wilayah Cina yang menyelenggarakan upacara ini adalah propinsi Fujian dan Taiwan.

Upacara ini juga diadakan di tempat-tempat lain yang didiami oleh komunitas yang leluhurnya berasal dari kedua propinsi tersebut. Upacara Pai Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini yang sembahyang Pai Thi Kong, bukan hanya suku Hok Kian saja, tapi sudah menyebar dengan suku Tio Ciu, khomg Hu, Hakka dll.

Asal-usul

Menurut cerita turun temurun, rakyat Fujian dan Taiwan (Karena sebagian besar penduduk Taiwan adalah imigran dari Fujian) mulai menyelenggarakan upacara ini pada awal Dinasti Qing (1644-1911).

Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming (1368–1644). Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming.

Pasukan dinasti Qing membutuhkan waktu 39 tahun untuk menguasai Taiwan dan 45 tahun untuk sepenuhnya menguasai Fujian. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.

Kondisi geografis Fujian yang terisolir dari wilayah Cina yang lain, di sebelah timur dibatasi dengan laut, di sebelah barat dibatasai dengan pegunungan, membuat Fujian menjadi wilayah yang ideal sebagai basis para loyalis Ming.

Selama terjadinya peperangan dan kekacauan ini, banyak rakyat yang harus bersembunyi di dalam hamparan perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana karena dikejar oleh para serdadu. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam dan hari Tahun Baru Imlek. Selama bersembunyi itu, tebu-tebu itulah yang menjadi sandaran utama untuk makanan di tengah peperangan.

Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar dan kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, kemudian mereka memotong beberapa batang tebu utuh dengan daunnya dan mengadakan upacara sembahyang kepada Ti Kong (Tuhan) di tempat itu juga.

PaiThi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Barunya orang Hok Kian, Oleh sebab itu kemudian setiap tahun mereka mengadakan upacara tersebut. (rep1)