Nasional

Pemerintah terpecah soal ratifikasi beleid peredaran tembakau

Sikap pemerintah Indonesia soal ratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak seragam. Dua kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian, secara tegas menolak adopsi beleid tersebut.
 
Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengatakan Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 jika konteksnya mengurangi imbas negatif rokok terhadap kesehatan. Bila FCTC disahkan, justru akan membuat beleid bikinan pemerintah tak berguna, dan sebaliknya, pemerintah mengadopsi sudut pandang aturan asing.
 
"Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing)," kata Enny dalam diskusi di Jakarta, dua hari lalu.
 
Selain itu, berkaca pada sikap negara peratifikasi FCTC, sering ada perubahan kebijakan yang didasarkan pada negara-negara maju. Sehingga, posisi Indonesia dalam mengelola industri tembakau, kata Enny, tak akan leluasa.
 
"Negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap tata aturan FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya, ujarnya.
 
Di sisi lain, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian Nurnowo Paridjo menyatakan konsekuensi FCTC terhadap lapangan kerja petani tembakau tak bisa dinafikan.
 
Berdasarkan data Kementan, ada 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir tembakau. Jumlah ini terdiri dari 2 juta orang petani tembakau, 1,5 juta orang petani cengkeh, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik rokok, 1 juta orang pengecer rokok, serta 1 juta orang tenaga percetakan dan periklanan rokok.
 
"Ratifikasi FCTC bakal berdampak besar pada kesejahteraan pekerja di industri tembakau," kata Nurwono.
 
Sejauh ini, Kementerian Kesehatan masih menjadi pendukung utama agar FCTC segera diratifikasi. Menko Kesra Agung Laksno bulan lalu telah menyadari, bahwa masih ada beberapa kementerian yang enggan peredaran tembakau diatur lewat aturan tersebut.
 
Dia menuturkan, agar sikap kementerian yang menolak FCTC diubah. Alasannya, Indonesia satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi beleid itu.
 
Agung sekaligus menuturkan bahwa tidak ada korelasi antara pembatasan peredaran rokok dengan penurunan penerimaan negara. Dia menegaskan, FCTC akan membuat pemerintah fokus mencegah pertambahan jumlah perokok pemula, khususnya di usia remaja.
 
"Negara lain yang sudah menandatangani, pendapatan negaranya tidak menurun, kata Agung.
 
Koordinator Pengembangan Peningkatan Kesehatan di Kemasan Rokok SEATCA-FKM UI, Widyastuti Soerojo turut bersuara keras pada instansi pemerintah yang menolak agenda ratifikasi FCTC. Dia menegaskan, program internasional ini tidak akan berpengaruh pada pendapatan sektor pertanian tembakau dan industri rokok. Alasannya, karena rokok adiktif, adanya kenaikan harga atau pembatasan peredaran akan terus dibeli konsumennya.
 
"FCTC tidak mematikan petani tembakau. Industri juga tidak akan dirugikan," klaimnya.
 
Penandatanganan konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dilakukan pertama kali oleh 168 negara dalam rentang waktu mulai 16 Juni 2003 sampai 29 Juni 2004. Hingga Juli 2013, tercatat 177 negara telah meratifikasi serta mengaksesi FCTC dan 9 negara lainnya sudah menandatangani FCTC namun belum meratifikasi. dilansir merdeka.com. (rep10)