Hukum

Kejati Banten Eksekusi Mati Gembong Narkoba

JAKARTA -  Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengeksekusi mati seorang terpidana kasus narkotika asal Pakistan, Muhammad Abdul Hafeeez (44), Minggu (17/11/2013). Eksekusi itu dilaksanakan pukul 00.17 dan jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Desa Suradita, Tangerang Selatan, Banten.
 
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Banten, Setia Untung Arimuladi, eksekusi ini merupakan pelaksanaan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 846K/PID/2002 tanggal 7 Agustus 2002 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 11/PID/2002/PT.BDG tanggal 13 Februari 2002 juncto Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 738/PID.B/2001/PN.TNG tanggal 28 November 2001.
 
"Terpidana telah mendapatkan haknya untuk mengajukan grasi dan dua kali peninjauan kembali," kata Setia dalam keterangan persnya seperti dilansir tempo.co. "Namun, semua upaya hukum yang diajukan oleh terpidana mendapat penolakan," tambahnya.
 
Adapun penolakan grasi itu tercantum dalam keputusan penolakan permohonan Grasi Nomor 15/G Tahun 2004 tertanggal 9 Juli 2004. Selain itu, penolakan Peninjauan Kembali pertama terdapat pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 68.PK/PID/2005 tanggal 28 Juli 2005. "Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 96.PK/Pidsus/2008 tanggal 18 Februari 2009 untuk Peninjauan Kembali kedua," jelas Setia.
 
Gembong narkoba ini ditangkap pada 26 Juni 2001 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten karena kedapatan membawa heroin dengan berat bersih 1.050 gram. Barang haram itu  disimpan dalam kemasan makanan ringan. Perbuatan itu melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. "Dia baru saja tiba dari Kota Pesawar, Pakistan," kata Setia.
 
Ini adalah hukuman mati kelima yang dilakukan Kejaksaan sepanjang 2013. Sebelumnya, Kejaksaan telah mengeksekusi mati terpidana kasus pembunuhan berencana atas nama Ibrahim, Jurit dan Suryadi yang dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, beberapa bulan lalu.
 
Terkait masih adanya terpidana mati kasus narkotika yang belum dieksekusi, Kejaksaan menyatakan ada beberapa penyebab, di antaranya masih adanya terpidana yang mengajukan upaya hukum kembali seperti banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK). 
 
Dipolitisasi
 
Direktur Program Imparsial Al Araf meminta pemerintah menghentikan sementara (moratorium) eksekusi hukuman mati terhadap para terpidana mati karena tidak menimbulkan efek jera. Ia pun berpendapat hukuman mati cenderung dipolitisasi rezim yang berkuasa demi kepentingan pemilu.
 
"Eksekusi hukuman mati akan selalu marak selama proses politik jelang pemilu. Ini menjadi bagian elektoral dalam pemenangan pemilu," katanya seperti dilansir kompas.com.
 
Al Araf menuturkan, eksekusi hukuman mati cenderung meningkat tajam menjelang pemilu sejak rezim SBY berkuasa. Menjelang Pemilu 2009, angka eksekusi hukuman mati berjumlah 10 orang. Begitu juga dengan menjelang Pemilu 2014 yakni lima dari 10 orang terpidana mati telah dieksekusi oleh Kejaksaan Agung.
 
"Berdasarkan catatan kami, tahun 2005 dua orang, tahun 2006 tiga orang, tahun 2007 satu orang, tahun 2009 hingga 2012 bahkan tidak ada yang dieksekusi mati," jelasnya.
 
Menurutnya, hukuman mati hanyalah sebuah tontonan kepada masyarakat untuk memberikan kesan simbolis bahwa pemerintah telah bekerja. Pemerintah, katanya, memanfaatkan potensi suasana kebatinan masyarakat yang geram dengan kejahatan serius, seperti pembunuhan berencana dan narkoba. Dengan begitu, pemerintah berharap masyarakat kembali percaya kepadanya.
 
"Padahal kejahatan seseorang itu dipengaruhi oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Ada peran negara dan masyarakat juga yang gagal dalam mengantisipasi kejahatan," katanya.
 
Al Araf berpendapat hukuman mati juga tidak berkorelasi positif terhadap menurunnya angka kejahatan. Berdasarkan laporan tahunan International Narcotics Control Board dalam kurun waktu 2001-2005, angka kejahatan narkoba justru meningkat setiap tahun sebesar 36,8 persen sejak hukuman mati diberlakukan pada awal tahun 2000. "Menurut saya justru hukuman seumur hidup lebih menimbulkan efek jera asalkan sistem di lembaga pemasyarakatan benar," tandasnya.
 
Kelemahan Hukuman Mati
 
Al-Araf menyatakan, terdapat kelemahan serius dalam pemberlakuan hukuman mati. Kelemahan tersebut adalah bahwa hukuman mati tidak dapat dikoreksi apabila vonis tersebut salah. Hal ini, katanya, semakin diperburuk dengan sistem hukum yang 'amburadul'.
 
Dengan kata lain, dengan sistem hukum yang korup seperti sekarang ini, vonis hukuman mati rentan salah vonis. Ia juga menambahkan pemberlakuan hukuman mati juga dapat menyulitkan pemerintah dalam diplomasi internasional terkait eksekusi mati buruh migran yang berada di luar negeri.
 
Dengan demikian, sebagai bangsa yang beradab, Indonesia seharusnya menghentikan dan bila perlu menghapus hukuman mati. "Berdasarkan data PBB juga sudah ada 35 negara yang melakukan penghentian eksekusi mati, meski UU-nya ada," tandasnya. (rep1)