Parlemen

Kok Rezim Soeharto Masih Diinginkan!

ilustrasi

Reformasi yang digulirkan 15 tahun silam pasca runtuhnya rezim otoriter ORBA melahirkan wajah Indonesia yang “bebas” (bablas) dalam berbagai hal. Demonstrasi dan protes terhadap aneka kebijakkan pemerintah menjadi tontonan yang lazim. Bahkan sampai ke tingkat ekstrim dengan membakar dan merusak fasilitas publik. Kritik-kritikan kepada pribadi presiden, DPR, dan pejabat publik  melalui surat terbuka, kicauan di Twitter, status Facebook, opini di blog pribadi, dan blog keroyokan semacam Kompasiana ini semakin diberi ruang selebar-lebarnya kepada segenap masyarakat Indonesia. Semua fenomena ini akan sulit dijumpai ketika rezim Soehato (orba) masih mencengkramkan kukunya di republik tercinta ini. UU subversif akan siap dikenakan kepada media atau warga negara yang nekad mengeritik presiden atau pemerintah.

Di sisi lain, angin kebebasan pasca reformasi juga menelurkan premanisme di berbagai bidang kehidupan. Kepastian hukum juga seolah menjadi barang yang langka. Ketegasan pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum semakin sulit ditemukan. Akibatnya, semakin marak tontonan kekerasan yang diperlihatkan oleh sesama warga negara terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat atau yang mempunyai cara pandang berbeda dengan kelompoknya. Begitu mudah tindakan “main hakim” sendiri dari para warga negara terhadap pelaku-pelaku kriminal entah pencuri, pemerkosa, pelacur, preman, pelaku tabrak lari, dll. Kesabaran warga untuk membiarkan proses hukum berjalan kepada para pelaku makin jarang terlihat. Ada nuansa kehilangan kepercayaan warga terhadap para aparat penegak hukum.


Semuanya ini melahirkan gonjang-gonjing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Rakyat merasa punya pemimpin, tetapi kehadiran dan peran serta aktifnya seperti kurang terasa. Maka muncullah olok-olokan bahwa sesungguhnya negeri ini seperti pesawat yang dikendalikan oleh robot autopilot. Meskipun objektivitas pandangan ini masih bisa digugat dan dipertanyakan tetapi demikianlah yang menjadi kata hati warga negara atas kekecewaan yang mendalam terhadap aparat pemerintahan.

Hal ini semakin memuncak dengan kenaikan harga BBM. Rakyat semakin tidak mempercayai tata kelola pemerintahan/negara terhadap perekonomian. Dalam kesederhanaan pemikiran rakyat zaman Soeharto dulu tidak seperti ini. Pada masa itu, rakyat hidup jauh ‘lebih tenang’ dengan BBM murah meriah sebab rakyat tidak tahu atau memang tidak diberi tahu bahwa untuk menjamin semuanya itu rezim Orba berhutang kepada pihak lain. Hutangnya itulah yang diwariskan kepada rakyat Indonesia sampai sekarang dan harus ditanggung oleh generasi masa kini.

Dalam kesederhanaan berpikir inilah diam-diam penyakit SARS menghinggapi sebagian masyarakat Indonesia. SARS yang dimaksudkan di sini diplesetkan sebagai Sindrom Akan Rezim Soeharto (penyakit SARS sebagai sebuah fenomena sosial). Muncul berbagai opini, pendapat, gambar, pamflet di jejaring sosial yang menampilkan figur Soeharto yang dielu-elukan sebagai pahlawan atau pemimpin terbaik yang menjamin rasa aman (palsu) kepada warga negara Indonesia. Sah-sah saja jika rakyat membandingkan para pemimpin sesudah Soeharto (zaman reformasi) dengan kepemimpinan Soeharto (zaman orba) sebagai bentuk kritik terhadap ketidaktegasan pemerintahan era reformasi.


Akan tetapi, sikap ini jangan sampai merupakan gejala proses amnesia sejarah terhadap otoriternya pemerintahan Orba dalam memimpin rakyatnya. Semua fenomena di atas tidak akan muncul pada masa Orba karena rakyat takut untuk mengungkapkan secara langsung ketidakpuasaannya terhadap pemerintahan Orba. Demikian pun semua informasi berkaitan dengan tata kelolah pemerintahan sulit didapatkan oleh rakyat melalui media, karena media dikondisikan untuk memberitakkan hal-hal yang baik-baik saja terkait pemerintah Soeharto. Media-media yang kritis diberedel/diberangus, tokoh-tokoh yang kritis dibungkam, sehingga arus informasi dari pemerintahan ke rakyat terjadi hanya satu arah saja. Itu pun disensor dan disortir terlebih dahulu.

Oleh karena itu, jangan sampai terlalu latah menjadi SARS kalau tidak sungguh memahami sejarah. Jangan sampai rakyat Indonesia yang dikenal “pemaaf/pelupa” ini mau digiring oleh antek-antek orba untuk merindukan zaman ‘keemasan palsu” yang diberikan oleh Soeharto dahulu. Rakyat harus tetap kritis bahwa iklim demokrasi yang kian bablas dan masih mencari bentuknya yang seharusnya ini tidak mungkin dinikmati saat ini, jika Soeharto dengan gaya kepemimpinan otoriternya masih bercokol di republik ini. Tetaplah kritis terhadap aneka bentuk kampanye untuk melupakan sejarah betapa kebebasan berpendapat warga negara di era Orba/Presiden Soeharto dibungkam.

Andaikan Presiden SBY sama seperti Presiden Soeharto dalam gaya kepemimpinannya, mungkin saja Kompasiana yang menampung semua kritikan tajam kepada presiden telah diberangus dan para kompasianer yang kritis di media ini telah ditangkap dan dipenjarakan dengan Undang-undang subversif. Masih mau bernostalgia dan kembali kepada rezim Suharto?