Hukum

Kasus Bioremediasi, SBY Panggil 3 Instansi

Jakarta - Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengakui, sebelum instansinya menyampaikan rekomendasi hasil penyidikan kasus bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memanggil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), SKK Migas, dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam kasus ini.
 
"Memang informasi yang menarik dan bisa dipertanggungjawabkan, presiden itu beberapa kali memanggil, ini apa sih sebenarnya masalahnya. Sebelum rekom Komnas HAM datang, presiden itu sudah tahu, Kepala SKK Migas itu sudah dipanggil Presiden, Kementerian ESDM sudah ditanya, dan Lingkungan Hidup. Gak bisa kita bohong-bohonganlah," kata Natalius Pigai di Jakarta, Selasa, (18/6/2013).
 
Pigai mengatakan, pihaknya telah menyampaikan hasil penyidikan dan rekomendasi ke seluruh institusi atau lembaga hukum yang terkait tentang temuan atas penanganan kasus bioremediasi PT CPI dan mayoritas lembaga tersebut telah mengeluarkan sikap.
 
"Seluruh instansi pemerintah hampir semua sudah kita hadirkan, KLH, KKRI katakan kasus ini tidak benar. Tinggal dua institusi yang belum bersikap, yakni Kejagung itu sendiri dan institusi kepresidenan. EDSM, KLH, KY, Komns HAM sudah bersikap," bebernya.
 
Kalau seluruh institusi negara sudah nyatakan kasus ini sangat tidak lazim, tandasnya, maka Kejaksaan Agung dan institusi kepresidenan harus segera mengambil sikap, terlebih presiden yang merupakan ujung proses upaya hukum.
 
"Sekarang kan titik terkhir di presiden, kalau sudah divonis inkracht, presiden dapat mengeluarkan amnesti. Tetapi ingat, diamnya presiden justru menimbulkan riak dinamika atau ketidakpercayaan mengkristal dalam snow ball di lapangan," tandasnya.
 
Meski Presiden SBY belum bersikap atas kasus ini, namum Pigai memprediksi orang nomor satu di Indonesia itu sepertinya telah memerintahkan Kepala UKP4, Kuntoro untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM.
 
Sedangkan terkait dengan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM menggunakan 11 indikator, di antaranya yakni putusan praperadilan, pelanggaran hukum, diskriminasi hukum, perizinan proyek bioremediasi, pengambilan sampel tanah, aturan TPH, konflik kepentingan saksi, dan permasalah bisnis, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi 4 pelanggaran HAM.
 
Keempat pelanggaran HAM tersebut, yakni pertama, terlanggarnya hak untuk mendapat kepastian dan perlakukan hukum yang sama. Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapat keadilan dan proses hukum yang adil, jujur, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.
 
Menanggapi temuan Komnas HAM tersebut, Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, pelanggaran HAM itu bisa dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
 
"Ada juga pelanggaran HAM dikategorikan yang tidak langsung, yakni by judicial. Jadi, dengan perangkat hukum, institusi hukum juga bisa terjadi pelanggaran HAM, itu bisa dilakukan kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan itu sendiri. Saya kira, ini bagian kasus ini, satua bagian hal tersebut dan ditunjukan oleh Komnas yang dilakukan institusi peradilan yang menyertai kejaksaan," paparnya.
 
Penilaian tersebut dilontarkan Hendardi karena ia menilai perkara bioremediasi bukanlah perkara yang pas untuk diproses hukum. Ia menilai, kasus ini dibawa ke ranah hukum karena banyak kepentingan di belakanggnya.
 
"Dibawa ke ranah hukum, banyak kepentingan di belakang itu, sehingga bukan kasus menjadi kasus atau sebaliknya, sehingga menjadi pelanggaran HAM," ujarnya.
 
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Tjatur Sapto Edi usai diskusi tersebut mengatakan, pihaknya akan membahas kasus tersebut dalam rapat dengan Kejaksaan Agung yang diagendakan akan digelar besok di DPR. "Nanti akan dipertanyakan ke Kejaksaan Agung," ucapnya.
 
Menurutnya, bioremediasi merupakan hal yang baru di negeri ini. Untuk itu, ia berharap semua penegak hukum mempelajari kelimuan yang terbilang baru diterapkan di negeri ini.
 
"Dakwaan itu harus dibuktikan secara scientific, sehingga penegak hukum itu harus menguasai ilmu baru," pungkas pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan teknik lingkungan itu.(rep03)