Fokus Rohil

Mengenal Tradisi dan Budaya Bagansiapiapi Dari Dekat

ADVERTORIAL ROHIL

BAGANSIAPIAPI - Bagansiapiapi yang selama ini jarang didengar dari sebagian besar masyarakat Indonesia ,ternyata pada zaman hindia belanda sangat terkenal dan menjadi salah satu penghasil ikan nomor 2. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubudan Kecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah. kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara.

Bagansiaiapi sangat terkenal Ritual bakar tongkang yang menjadi icon dari kota Bagansiapiapi, Tradisi unik yang dipelihara turun temurun ini hanya satu-satunya di dunia, sebagai bagian budaya di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Kegiatan ini sudah berjalan sekitar satu abad. Tradisi “Bakar Tongkang” dirayakan setiap tahunnya oleh etnis Tionghoa, untuk mengenang leluhur mereka yang telah mengarungi lautan menggunakan Tongkang.

Perayaan yang saat ini sudah dijadikan wisata nasional tersebut, sangat didukung Pemerintah Daerah setempat. Wujud dukungan pemerintah daerah dalam ritual ini, dengan turutsertanya semua Dinas Pemerintahan dalam pawai perayaan.

Kuliner khas Bagansiapiapi yang terkenal adalah masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat, misalnya : Kwetiau Bagan, Miso Bagan,Nasi lemak Bagan, ''Kari Peng'' (Nasi Kari Bagan), Ham-ke (sejenis martabak dari kerang), Wantanmi (Mi Pangsit), Ke-mi (mi campur potongan mirip kwetiau), Tilongpan (mirip Cicongpan di Medan), Kiam-ke, Lolia (Rujak Bagan), O-Lua (Rujak Pedas), O-Ke,O-Yi, dan sebagainya.

Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir. Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada tahun 1890.

Berdasarkan Staatsblad 1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibukota Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni Bangko, Kubu, dan Tanah Putih. Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan (kantor Controleur) ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900. Bagansiapiapi semakin berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalamKabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubu danKecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara.

Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagai Undang-Undangdalam Rapat Paripurna.

Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian,Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan pendudukSongkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.

Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.

Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (si api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.

Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.(adv/hms/hen)