Hukum

Grasi untuk Pembunuh Sadis di Pekanbaru Hujan Kritikan

Pekanbaru - Pemberian grasi oleh Presiden Jokowi terhadap pelaku pembunuh sadis dan biadab Dwi Trisna Firmansyah (27) dinilai mencederai rasa keadilan, terutama di dalam masyarakat Riau. Sebab, Dwi membunuh korbannya saat salat subuh.
 
Demikian disampaikan, Wakil Dekan 1, Fak Hukum Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru Dr Suhendro, Sabtu (14/3/2015). Menurut Suhendro, dalam memaknai hukum tidak sekedar adanya fakta di persidangan. Namun di luar persidangan, seperti rasa keadilan dalam masyarakat serta tatanan sosial dan opini publik juga harus diperhatikan.
 
"Riau dikenal menjunjung tinggi budaya Melayu yang identik Islam. Kasus pembunuhan justru terjadi saat korbannya sedang salat menghadap Sang Khaliq dan anaknya yang masih SLTA yg mau menolong ayahnya turut dibunuh. Hartanya dikuras. Grasi yang diberikan presiden tak hanya melukai perasaan masyarakat Riau, tapi masyarakat Indonesia pada umumnya," kata Suhendro.
 
Jika pengajuan grasi yang disampaikan terpidana bahwa sudah tobat dan berbuat baik di lembaga pemasyarakat, Suhendro menilai, secara psikologis seseorang yang akan menjalani hukuman mati pasti menyatakan dirinya bertobat.
 
"Hal yang wajar terpidana mati bila menyatakan bertobat. Dia (Dwi) menyatakan tobat karena mau dihukum mati, besok bebas tidak ada jaminan akan bertobatnya itu. Perbuatannya sudah tergolong sadis dan biadab dan seperti tidak ber-Tuhan. Orang lagi salat dibantai secara keji bersama anaknya," kata Suhendro.
 
Suhendro menilai, bahwa perbuatan terpidana juga sudah menyengsarakan keluarga korban. Di mana korban Agusni selaku kepala rumah tangga merupakan tulang punggung buat keluarganya.
 
Terkait salah satu isu permohonan grasi bahwa istri dari Dwi pelaku pembunuhan sadis itu dalam keadaan hamil dan terpidana ingin membesarkan anaknya, menurut Suhendro hal itu tidak berkeadilan jika dijadikan landasan atas pengampunan. "Memberi grasi jangan melihat dari sisi keluarga pelaku, ini tidak adil" kata Suhendro.
 
Suhendro memperkirakan, bisa jadi Presiden Jokowi tidak tuntas dalam membaca kronologi kejadian pembantaian sadis tersebut.
 
"Sekarang memang belum ada keterangan resmi alasan apa presiden memberikan grasi. Tapi saya menduga, bisa jadi presiden tidak tuntas dalam membaca kronologi kejadian pembunuhan tersebut," kata Suhendro. (rep05/dtk)