Sosialita

Hadang Taliban, Para Gurudi Peshawar Bawa Senjata ke Sekolah

Peshawar-Guru-guru di Peshawar berlatih menggunakan senjata dan kini membawa senjata mereka ke sekolah, untuk melindungi diri dan murid-murid setelah Taliban dengan brutal membunuh 145 orang, 132 diantaranya adalah anak-anak pada Desember lalu. Di atas meja kepala SMA Negeri untuk laki-laki di Peshawar, Pakistan, terpampang layar yang menunjukkan video keadaan di sekitar kampus. Di atas salah satu lemari sang kepala sekolah, Abdul Saaed, tergeletak satu pistol penuh peluru.
 
Sebagai seorang guru bagi murid berusia 15 tahun, Saaed menyatakan bahwa membawa senjata ke sekolah akan menciptakan rasa aman di tengah mereka. 
 
Seperti dilansir CNN, Senin (2/1), para murid masih dirundung ketakutan setelah pasukan Taliban menyerang sekolah tentara pada Desember lalu dan menewaskan puluhan siswa. "Mereka akan melihat ke arah pintu setiap mereka mendengar suara. Sekarang ketika mereka melihat saya membawa senjata, mereka tidak perlu khawatir dan bisa fokus pada pekerjaan yang ada di tangan, yang berguna untuk mengedukasi mereka," ucap Saeed.
 
Kawat berduri, kamera pengintai dan penembak jitu sudah menjadi hal yang lumrah ditemukan di sekolah-sekolah Pakistan. Terlebih lagi di sekolah swasta di Provinsi Khyber Pakhtunkua yang terletak di perbatasan barat laut Pakistan. Di sana, pemerintah menginstruksikan sekolah untuk mengetatkan keamanan dan menggunakan detektor metal.
 
Rumor yang beredar mengatakan bahwa kepala sekolah mereka menerima kiriman peti mati kosong dari kaum militan. Namun, pihak sekolah bungkam. Menurut juru bicara Taliban Pakistan, Mohammed Khurrassani, serangan berdarah di Peshawar tersebut adalah bentuk balas dendam atas kematian suku-suku selama gempuran operasi tentara di beberapa provinsi, termasuk Waziristan Selatan, Waziristan Selatan dan Agensi Khyber.
 
Sebagai langkah antisipasi serangan lanjutan, pemerintah provinsi pada bulan lalu telah menganggarkan dana sebesar US$69 juta atau setara Rp 87 miliar untuk menjamin keamanan di sekolah pemerintah di Khyber Pakhtunkhua (KPK). Namun, Menteri Informasi KPK, Mushtaq Ghani, mengaku dana tersebut belum cukup untuk mencegah serangan di sekitar 35 ribu sekolah pemerintah di seluruh pelosok provinsi. Karena itulah, pemerintah KPK mengizinkan para guru yang mengantongi lisensi kepemilikan senjata api untuk membawanya ke sekolah.
 
Menuai Kritik
Namun, keputusan pemerintah Pakistan itu menuai banyak kritik. Salah satunya dari anggota Dewan Eksekutif Asosiaso Guru Peshawar, Umar Daraz. "Mengapa Anda memuja senjata? Jika guru membawa senjata ke dalam ruang kelas, itu memuja senjata mematikan tersebut di mata siswa dan di masa depan itu akan menginspirasi mereka untuk mengambil senjata, menyalahgunakannya dan menyebabkan lebih banyak tragedi. Guru seharusnya mengajar," kata Daraz.
Sementara itu, polisi Khyber Pakhtunkhua memulai sesi pelatihan penggunaan senjata bagi para guru. Inspektur kepolisian, Faisal Mukhtar, menjabarkan bahwa salah satu alasan diadakannya pelatihan ini adalah agar guru bisa menahan serangan militan di tepi pantai hingga pasukan militer datang.
 
Sekitar 20 guru perempuan sudah menyerap ajaran dari Inspektur Rozia Altaf. Kebanyakan dari mereka belum pernah memegang senjata sebelumnya. "Tragedi pada 16 Desember lalu telah memberanikan perempuan-perempuan ini. Kebanyakan dari mereka adalah ibu dan mereka tak berdaya -- mereka tidak akan seperti itu lagi," ucap Mukhtar. Kendati demikian, Mukhtar mengatakan bahwa setelah sesi latihan selesai, tidak ada guru yang tertarik untuk memiliki lisensi senjata.
 
Kembali ke dalam ruang kepala sekolah, Saeed meletakkan senjatanya di atas meja dan menuturkan pengalamannya saat menjadi sukarelawan di rumah sakit saat serangan terjadi. Matanya berair ketika ia mengingat para siswa laki-laki berusia sekitar 12 tahun dengan peluru yang bersarang di badan mereka.
 
Saeed menangkis semua orang yang mengecam keputusan untuk membawa senjata ke sekolah dengan berkata, "Ini adalah waktu yang tidak biasa dan kami harus berurusan dengan mereka dengan cara yang tidak biasa. Setelah apa yang saya lihat, saya menolak untuk menjadi tak berdaya dan tak bersenjata jika seseorang datang untuk menyerang murid-murid saya seperti yang dilakukan (kaum militan) pada Desember."
 
Di akhir perbincangan, Saeed berimbuh, "Kami memang pahlawan kapur dan papan tulis. 
 
Sekarang kami harus menjadi tentara dalam perang dan bertarung demi pendidikan dan masa depan cerah bagi anak-anak kami." (CNNIndo/rep05)