Sejarah Kota Nelayan dan Pelabuhan Bagansiapiapi Pada Masa ke Masa

Selasa, 22 November 2016

ADVERTORIAL ROHIL

BAGANSIAPIAPI - Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber, di antaranya surat kabar De Indische Mercuurmenulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia.

Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya).

Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton. Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.

Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia adalah Bagansiapiapi, yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.

Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.

Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an saja.

Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan. Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.

Perahu produk Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau.

Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke pengusaha galangan

*Sejarawan Bagansiapiapi.

SUDARNO MAHYUDIN lahir di Bagansiapi-api, Rokonhilir, Riau, pada 26 September 1940. Menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Bagansiapi-api tahun 1953, SMP Bagian B di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1956 dan SMA Bagian B di kota yang sama tahun 1960. Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada di Jogyakarta, sampai tingkat dua.

Balik ke kampung halamannya di Bagansiapi-api, tahun 1971, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Baru di tahun 1972--1975 ia mendermabaktikan ilmunya di sekolah-sekolah swasta di Bagansiapi-api sebagai guru hingga akhirnya dipercaya sebagai direktur Perguruan Wahidin di kampung nelayan itu. Tahun 1976 Sudarno mengakhiri pengabdiannya sebagai guru, ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di Kantor Imigrasi Bagansiapi-api.

Bakat kesastraannya sudah mulai tumbuh ketika ia masih duduk di bangku SMA di Surakarta. Kala itu ia mengisi rubrik di majalah dinding sekolahnya, dan pada tahun 1965 ia mulai mempublikasikan karya-karyanya berupa cerpen dan cerita bersambung di berbagai media di Medan, Sumatera Utara, dan Pulau Jawa. Sudarno Mahyudin terbilang sastrawan terproduktif di Riau. Ia minimal sudah menulis 35 judul buku dalam karier kepenulisannya, mulai dari roman/novel, naskah teater, scenario film, cerpen dan buku tunjuk ajar.

Novelnya Insiden Santau Hulu memenangi Sayembara Penulisan Roman Daerah Riau tahun 1983. Tahun 1985 skenarionya berjudul Kudeta memenangkan juara kedua untuk Sayembara Penulisan Skenario Film yang diselenggarakan oleh Departemen Penerangan RI. Tahun yang sama, novel anak-anaknya berjudul Perang Guntung keluar sebagai pemenang kedua Sayembara Penulisan Cerita Anak-anak yang diselenggarakan oleh Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Tahun 1990 novel cerita rakyatnya yang berjudul Sungai yang Menjadi Saksi Hidup keluar sebagai pemenang kedua Sayembara Penulisan Cerita Daerah Riau. Tahun 2004, skenarionya Panglima Besar Reteh meraih juara harapan Sayembara Penulisan Skenario Film Layar Lebar yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Novel-novelnya yang lain yang sudah dibukukan adalah Insiden Kapal Nautilus (1988, 1989, 2002), Putri Sei Melur (1987), Pendekar Musalim (1992), Pahlawan Perang Dalu-dalu (1996), Raja Kecil (1989, 1991, 1996), Tenggelamnya Kapal Malaka’s Welvaren (1995, 1996),  Pergolakan Pereban (1989, 2001, 2005, 2007), Menentang Matahari (1996, 2001, 2005, 2007), Muda Cik Leman (2003, 2006), Gema Proklamasi RI Dalam Peristiwa Bagansiapi-api (2006), Cinta Dalam Sekam (2006), Tatakrama Melayu, Suatu Warisan Budaya (2006), Intan Kaca (2007), Tiga Naskah Teater Tradisional Melayu Riau (2007), Senarai Profesi Keras Datang, Merak Menanti (2007), Pengantin Lipan (2008), Rayap (kumpulan cerpen, 2008), Prolog, Kronologis dan Epilog Peristiwa Bagansiapi-api (2008).

Untuk teater, Sudarno telah menulis lima naskah, yaitu Putri Seri Daun (pemenang kedua Festival Drama Klasik di Bengkalis, 1983), Pinangan Liuk (pemenang pertama Festival Teater Remaja Riau, 2004), Laksmana Mengamuk (pemenang kedua Festival Teater Idrus Tintin Award, 2005), Pilih-pilih Menantu (1992), dan Ratu Sik Sima (belum pernah dipentaskan). Sedangkan untuk film, sedikitnya tujuh scenario telah ia tulis, yaitu James Bagio Vs Wrong Gang (1990), Mencari Pencuri Anak Perawan (enam episode, 1993), Nara Singa (1995), Awang Mahmud (1996), Dikalahkan Sang Sapurba (2004), Ke Langit (2004), dan Mai (Intan Kaca) (2008). Beberapa dari skenarionya telah difilmkan.

Dalam usia 68 saat ini Sudarno masih produktif menulis untuk berbagai genre. Tulisan-tulisannya dipublikasikan di Riau Pos, Sagang, Riau Mandiri, dan sebagainya. Sejak pensiun dari PNS – terakhir bertugas di Kanwil Kehakiman Provinsi Riau – Sudarno mudik ke kampung halamannya.(adv/hms/hen)